Sastra Madura yang penuh dengan pesan, kesan, kritik dan
ajaran-ajaran sempat lenyap dari permukaan , di masa lampau sastra lisan madura
sangat diminati oleh masyarakat dari kalangan grass root (rakyat jelata) sampai
kalangan elit (kraton), karena dengan sastra tersebut rakyat madura dapat
mengeskpresiankan diri, menyampaikan pesan moral,gejolak hati, ajaran agama. Orang Madura yang terkenal keras menghadapi hidup,
maju menentang arus, masih sempat untuk mendendangkan sastra –sastra, dengan
kondisi geokrafis yang panas, ombak lautan yang garang, maka sastra-satranya
penuh dengan motifasi, pesan ajaran yang ketat.
Di antara sastra Madura yang sangat di gemari antara lain, dongeng, lok-olok,
syi’ir, tembang, puisi mainan anak-anak.
Dungeng madure adalah cerita atau kisah yang di ambil dari cerita-cerita rakyat
madura, yang mengandung beberapa pesan, dan harapan. Dongeng ini sering di
dendangkan dalam pengajian, perkumpulan-perkumpulan. Sehingga hal tersebut di
anggap primer dalam menumbuhkan kembangkan tradisi-tradisi yang ada dipulau
madura. Dan dongeng tersebut merupakan cermin kehidupan pada masa lampau.
Sedangkan Syi’ir merupakan untaian kata-kata indah, dengan susunan kalimat-kalimat yang terpadu. Biasanya syi’ir ini di baca di
pesantren-pesanten, majlis ta’lim, dan walimatul urs.
Tembeng tidak jauh berbeda dengan syi’ir, biasanya tembang di baca ketika punya
hajat atau akan mengawinkan anaknya, yang di baca oleh dua orang atau lebih
sepanjang malam.
Sastra
Madura yang akhir-akhir ini, disinyalir semakin melemah karena publik kurang
memperhatikan sebagai mana diungkapkan oleh Prof Dr Suripan sadi Hotomo “Sastra
Madura (modern) telah mati, sebab sastra ini tak lagi mempunyai majalah BM
(Berbahasa Madura-Red). Buku-buku BM pun tak laku jual. Dan, sastra Madura tak
lagi mempunyai kader-kader penulis muda, sebab yang muda-muda umumnya menulis
dalam bahasa Indonesia” Meskipun demikian dewasa ini sedikit, bahkan dapat dikatakan tidak ada, yang berminat menulis sastra
dalam bahasa Madura. Bahkan tokoh-tokoh sastrawan Madura, seperti Abdul Hadi
WM, Moh. Fudoli, dan lain-lain lebih suka menulis dalam bahasa Indonesia.
Sedangkan nama-nama penerjemah sastra Madura yang terkenal seperti SP Sastramihardja,
R.Sosrodanoekoesoemo, R. Wongsosewojo kini telah tiada dan belum ada
penggantinya. Mungkin hal ini merupakan sebuah proses sastra Madura sedang
mengindonesiakan diri. Namun, meskipun demikian sastra Madura tidaklah lenyap
dari peredaran tampa menyisakan bekas sedikitpun.
Meskipun ada pendapat modern yang menyatakan bahwa sastra tidak harus menjadi
cermin masyarakat, tidak dapat di buat rujukan terhadap fenomena yang
berkembang dalam masyarkat tersebut, dan juga sastra bukanlah merupakan gambaran
dari kehidupan yang ada pada masyarkat tersebut, namun berbeda dengan sastra
Madura yang justru menjadi
cermin dari kesanggupan menghadapi kehidupan; alam yang keras, panas yang menyengat,
lautan yang garang, dan berbatu cadas, disinilah sastra Madura menjadi cermin
kehidupan di samping sikap terhadap Tuhan yang menciptakan alam semesta.
Selama ini orang Madura yang terkenal dengan kekerasaanya, baik watak, sikap,
kemauan, berpendapat, dan segala bentuk kekerasan ditujukan pada orang Madura.
Sehingga image tentang Madura dihadapan publik buruk dan jauh dari sikap santun
dan damai. Sastra Madura dalam hal ini sangat memberikan kesan dan peran ,
bahwa anggapan publik selama ini tentang kekerasan yang sering diidentikkan
dengan jahat, marah, amoral, kasar, tidak bersahabat tidaklah benar. Kekerasan berbeda dengan keras, keras memang merupakan watak kebanyakan
orang Madura, yang memang kondisi cultural dan geografisnya panas, ombak lautan
yang garang, gunung-gunung yang terjal, bebatuan yang kokoh, menjadikan watak
orang medura keras. Keras dalam hal ini, dalam kemauan, memegang prinsip,
aqidah, dan keras terhadap ajaran-ajaran agama. maka sastra-satranya penuh
dengan motifasi, pesan ajaran yang ketat, menentang kema’siatan, keras terhadap
musuh-musuh yang mencoba menghancurkan aqidahnya. Sastra Madura (syair) , yang kebanyakan lewat pesatren dapat membuktikan bahwa isi dan kandunganya mengadung
ajaran yang ketat.
Sosok Zawawi dengan celurit emasnya, mampu mengubah persepsi di hadapan publik
bahwa celurit sebagai alat pembunuh menjadi alat yang bermamfaat bagi kehidupan
orang Madura, yang memang menjadi ciri khas orang Madura.
Yang jelas Sastra Madura mampu meluluhkan hati dan gejolak masyarakat Madura,
dan menghilangkan kesan terhadap anggapan-anggapan bahwa orang Madura kasar,
jahat dan amoral. Sastra yang selalu diindentikan dengan halus, indah maka
demikian juga sastra Madura yang penuh dengan mutiara-mutiara kata, rangkain
kalimat yang indah dan penuh dengan nuansa regilius.
Potena mata tak bisa ngobe karep
Biruna omba’ abernai kasab
Pangeran mareksane ngolapah ateh
Gelinah betoh, tebeleh bumi tak kobesa
Ngobe ngagelinah Pangeran
Halimi Zuhdi LS, Peneliti sastra, cerpenis dan Mahasiswa Pasca Sarjana PBA UIN
Malang, Alumni Fakultas Humaniora Budaya, Jurusan sastra Arab UIN Malang, dan kini Ketua Linguistic and
literature Malang
Sumber: Penulislepas.com