
"Saya dimarahi dan dimusuhi teman-teman di sekolah.
Kata teman-teman, guru-guru jadi kena masalah gara-gara saya. Padahal, saya
cuma bicara jujur. Kata ayah dan bunda, kita harus selalu jujur."
Demikian dikatakan Muhammad Abrary Pulungan (14) seusai pemutaran video
dokumenter kolaborasi "Temani Aku Bunda" dan diskusi "UN untuk
Apa?", Sabtu (6/4/2013) lalu, di XXI Epicentrum, Jakarta. Video
dokumenter berdurasi 77 menit yang dibuat selama lebih dari satu tahun itu
berkisah tentang pengalaman Abrar yang pernah melaporkan kecurangan ujian
nasional (UN) di sekolahnya, SD Negeri 06 Petang, Pesanggrahan, Jakarta
Selatan, dua tahun lalu atau tepatnya Mei 2011.
Pengalaman buruk dan traumatik bagi Abrar itu berawal ketika dua hari sebelum
UN ia dan beberapa temannya disuruh oleh salah satu gurunya membuat kesepakatan
saling membantu memberikan jawaban soal saat ujian. Dalam kesepakatan tertulis
itu, para siswa dilarang memberi tahu siapa pun, termasuk orangtua.
Pada saat ujian, Abrar gelisah saat teman-temannya bebas bertukar jawaban,
padahal ada pengawas yang sedang bertugas. "Kita disuruh merahasiakan dari
orangtua atau saudara sampai dewasa," kata Abrar di dalam film dengan
produser Yayasan Kampung Halaman dan sutradara Tedika Puri Amanda serta Irma
Winda Lubis (ibu dari Abrar) itu.
Setelah ujian dan sesampainya di rumah, Abrar tidak tahan dan mengadu ke ibunya
sambil menangis.
Mendengar cerita anaknya, Winda pun berang dan meminta sekolah mengakui dan
meminta maaf ke publik. Seluruh proses perjalanan Winda mencari kebenaran dan
keadilan bagi Abrar tak kunjung berbuah sampai hari ini. Pemerintah daerah
melalui dinas pendidikan telah membentuk tim investigasi, tetapi hasilnya
nihil.
Keluarga Abrar pun ke sana kemari mengadu ke berbagai lembaga bantuan hukum dan
berbagai organisasi pejuang hak anak untuk meminta perlindungan, tetapi sampai
kini tanpa kabar.
Segala macam bukti telah diserahkan, termasuk rekaman suara
pengakuan guru Abrar kepada orangtua Abrar. Di dalam film terdengar jelas suara
guru Abrar yang mengaku meminta para siswa untuk berlaku tidak jujur.
Alasannya, ia hanya ingin membantu siswa dan orang tua agar lulus UN.
"Abrar dibilang gurunya kalau ia hanya terlalu sensitif dan kita harus ikut
arus orang lain," kata Winda.
Meski perjuangan terasa tanpa ujung, Winda dan suaminya
tidak patah arang. Apalagi karena Abrar pun meminta kedua orangtuanya, terutama
ibunya, untuk tidak menyerah dan tetap berjuang. "Saya tidak mau ada siswa
bodoh dapat nilai bagus. Kalau pemimpinnya orang bodoh, nanti Indonesia bisa
roboh," kata Abrar dalam sesi diskusi.
Diusir warga
Kasus serupa pada tahun yang sama juga dialami Alif (14),
siswa yang melaporkan kecurangan UN di sekolahnya, SD Negeri Gadel 2, Tandes,
Surabaya. Alif juga diminta guru memberikan jawaban soal UN kepada temannya
yang tidak tahu
Kasus ini ramai diperbincangkan hingga keluarga Siami (ibu Alif) diusir warga
dari rumahnya karena tidak suka dengan kejujuran Alif. Alif dan keluarganya pun
dituding sok jujur oleh guru, orangtua siswa lain, hingga masyarakat sekitar
tempat tinggalnya.
"Kami mendidik Alif untuk selalu jujur dan percaya dengan kemampuan
sendiri. Tetapi, di sekolah ia malah diajari tidak jujur. Saya dihujat
masyarakat dan dianggap sok pahlawan," kata Siami yang datang ke pemutaran
film tanpa Alif.
Bagi orangtua siswa lain dan masyarakat setempat, kata Siami, berbagi jawaban
soal ujian sudah hal yang lumrah wajar. Guru yang meminta Alif berbagi jawaban
itu pun justru dianggap oleh masyarakat hanya berkeinginan membantu siswa agar
lulus UN.
Bagi Siami, hal ini tidak bisa dibiarkan dan ia harus bertindak. "Kalau
saya diam saja dan tidak berjuang, nanti saya tidak bisa kasih contoh baik ke
anak saya," ujarnya.
Sayangnya, seperti halnya Winda, Siami kini juga berjuang sendiri. Setelah satu
tahun kasus Alif berlalu, semua dukungan dan bantuan menguap entah ke mana.
Padahal, Siami merasa Alif masih membutuhkan bantuan, terutama pendampingan
psikologis."Yang penting anak saya punya teladan orang dewasa yang berlaku
jujur," ujarnya.
Psikolog anak Silmi Kamilah Risman berharap orangtua selalu menanamkan
nilai-nilai kejujuran pada anak sejak dini di rumah karena anak sudah mulai
mengikuti contoh-contoh yang ada di masyarakat. Orangtua harus tetap kritis
meski harus menentang arus."Suara-suara yang kritis itu seperti suara
sumbang dalam tim koor yang kompak," ujarnya.
Sumber :Kompas