Sinyal ini mesti diperhatikan pemerintah dan para penegak
hukum. Hasil riset Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan 56 persen masyarakat
tak puas atas kondisi penegakan hukum di Indonesia. Tingkat ketidakpuasan
menunjukkan tren meningkat dalam lima kali survei serupa yang digelar LSI sejak
2010.
Sebagai kunci penegakan hukum, pemerintah perlu menyimak
hasil survei itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa berdalih tak mau
mencampuri urusan hukum seperti yang sering diucapkannya. Garda depan penegakan
hukum-kepolisian dan kejaksaan-jelas berada di bawah kendali Presiden.
Selebihnya, penegakan hukum bergantung pada para hakim yang masuk wilayah
kekuasaan Mahkamah Agung.
Dari 1.200 responden di 33 provinsi yang disurvei, hanya
29,8 persen yang menyatakan puas atas penegakan hukum. Responden yang tinggal
di desa lebih banyak yang tidak puas dibanding responden yang tinggal di kota.
Dan, ini poin yang penting, ada 30 persen responden yang setuju atas tindakan
menghukum sendiri pelaku kejahatan karena tak percaya proses hukum bakal adil.
Merosotnya wibawa hukum juga tergambar dari hasil survei
itu. Sebagian besar responden, 57 persen, merasa bahwa aparat hukum mudah
diintervensi oleh berbagai kepentingan luar. Uang dan kedekatan politik bermain
di belakang dan di ruang sidang. Pamor hukum juga dinilai anjlok gara-gara
dirongrong pejabat dan politikus yang sibuk melakukan korupsi ketimbang
mengurus rakyat. Sebagian menteri, bupati, anggota DPR, pemimpin partai, seolah
tak berhenti bancakan uang negara.
Fenomena itu tidak bisa dibiarkan. Masyarakat yang
berpendidikan rendah, tinggal di pedesaan dengan akses informasi terbatas,
merasa betul tumpulnya pedang hukum. Pada saat yang sama, kelompok ini rentan
menjadi obyek premanisme dan korupsi. Jerami kering pun tersebar di mana-mana,
gampang tersulut api. Tawuran dan konflik meletup dalam berbagai kadar, seperti
di Poso, Palopo, serta Makassar.
Lebih parah lagi, negara kerap absen dalam berbagai situasi
yang menuntut kinerja aparat keamanan. Dalam perkara premanisme, umpamanya.
Kawasan Parkir Timur Senayan, Jakarta, dipenuhi preman. Padahal lokasi Senayan
tak jauh dari kantor Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya.
Terakhir, hal yang banyak dibicarakan belakangan ini adalah
tragedi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta. Sejumlah anggota
Komando Pasukan Khusus TNI menyerbu penjara itu dan menembak mati empat
tahanan. Anehnya, tindakan main hakim sendiri ini justru dibenarkan oleh sebagian
masyarakat karena keempat korban dianggap sebagai preman. Jelas ini sebuah
contoh sesat pikir yang mungkin disebabkan tidak adanya jaminan keamanan bagi
rakyat.
Data dan analisis yang lebih komprehensif tentang persoalan
ini tentu dibutuhkan. Tapi hasil survei itu setidaknya menunjukkan upaya
reformasi hukum selama ini belum membuahkan hasil. Publik masih berpandangan
bahwa penegakan hukum belum sesuai dengan keinginan mereka atau belum memenuhi
rasa keadilan masyarakat. Rapor buruk ini tidak bisa diabaikan oleh pemerintah
dan para penegak hukum.
sumber :TEMPO.CO
No comments:
Post a Comment