I. Prolog
Keberagaman
itu masih berupa teka-teki silang yang membutuhkan jawaban sebelum akhirnya
berlanjut pada pertanyaan selanjutnya. Aku masih terpaku pada pertanyaan di
kolom mendatar: Apakah arti “Bhinneka Tunggal Ika”? Aku ingin menjawab
“persatuan” pada kolom yang kosong itu, namun sayang jumlah kotak yang ada
tidak memadai. Aku bertanya dalam hati, apakah pertanyaan ini tidak memiliki
jawaban atau lebih tepatnya belum terjawab oleh pembuat teka-teki silang ini?
Memahami
keberagaman secara holistik mungkin masih menjadi mata kuliah sulit bagi
masyarakat Indonesia. Ibarat mengkaji lukisan Monalisa dengan senyum
misteriusnya, kita masih bertanya-tanya apakah penghormatan terhadap keberagaman
itu nyata adanya? Sebagai bangsa yang masih balita dalam memahami keberagaman,
respon kita terhadap lukisan agung bernama persatuan itu masih destruktif. Ada
yang merusak, menodai, atau bahkan membakar karya seni agung itu karena tidak
tahu betapa berharganya nilai kebanggaan terhadap keberagaman itu.
Keberagaman
itu tetaplah menjadi pertanyaan yang tidak akan pernah bisa dijawab, sampai
kita mau membuka kotak Pandora bernama toleransi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
II. Refleksi
Sembilan
belas tahun yang lalu, aku terlahir sebagai orang keturunan di Indonesia. Aku
tinggal di lingkungan masyarakat Sunda yang sangat kental. Tak heran, sejumlah
budaya Sunda melekat kuat dalam diriku, salah satunya adalah Bahasa Sunda.
Aku
tumbuh, berkembang, dan mengukir prestasi di Bumi Parahyangan ini. Sekolahku
pun terletak dekat dengan lingkungan masyarakat pribumi. Setiap pagi, aku
berjalan kaki ke sekolah melewati rumah warga sekitar. “Eta aya si Cina.
Cina!” (Itu ada si Cina. Cina!) Kalimat itulah yang ku dengar dengan nada
mengejek dan menghina etnisku. Ku percepat langkahku menuju sekolah dengan rasa
sesak di dada.
Beranjak
dewasa, aku aktif mengikuti berbagai kegiatan, seminar, dan lomba. Tatkala aku
menuju meja pendaftaran, beberapa bibir mencibirku. “Haiya, ada orang
Cina mau ikutan seminar!” Selentingan yang membuatku merasa terasing di
negeriku sendiri. Mungkinkah aku bukan bagian dari Indonesia yang katanya
“Bhinneka Tunggal Ika”?
Setiap
kali pelajaran PKn pada masa SD, SMP, dan SMA, aku selalu diberikan makna
“Bhinneka Tunggal Ika” itu berbeda-beda, tetapi satu juga. Mungkinkah buku
paket pelajaranku yang sudah usang ataukah ada revisi terbaru dari penerbit
mengingat “Bhinneka Tunggal Ika” itu selama ini belum pernah ku rasakan.
Konsep
kebanggaan terhadap keberagaman itu seolah teori belaka, tanpa ada praktik
nyata di lapangan.
Aku
selalu mendengar di surat kabar, televisi, bahkan radio sekalipun memberitakan
tatkala terjadi kerusuhan besar, warga keturunan sepertiku adalah target utama.
Masih segar di ingatan orang tuaku, tatkala mempersiapkan semua kemungkinan
terburuk yang terjadi akibat kerusuhan besar di tahun 1998. Meskipun kami
berdomisili di Bandung, orang tuaku sadar tatkala kerusuhan itu meluas, bukan
mustahil kami akan menjadi target selanjutnya.
Aku
bertanya apakah aku anak tiri dari ibu bernama Indonesia? Apakah aku tidak
mempunyai kesempatan, kebebasan, dan hak yang sama di tanah air tercinta ini?
Aku sempat berpikir warga keturunan sepertiku mungkin ibarat air dan minyak
dengan warga pribumi. Sampai kapanpun mungkin takkan bisa bersatu dan semboyan
“Bhinneka Tunggal Ika” yang ku pelajari 12 tahun silam itu mungkin sebuah
khayalan belaka.
Aku
berharap ini hanyalah mimpi buruk. Tatkala aku terbangun, aku berharap
mendapatkan jawaban dari teka-teki yang selama ini belum terisi tentang arti
dari “Bhinneka Tunggal Ika”.
III. Solusi dan Aksi
Tatkala
bangsa kita masih menganggap mayoritas adalah prioritas, penghormatan terhadap
keberagaman itu sendiri takkan pernah terjadi. Masyarakat minoritas tetap
tersisih dan mungkin terpaksa hijrah ke negara lain tatkala eksistensi mereka
terancam oleh kepentingan kaum mayoritas yang tidak mementingkan kepentingan
bersama.
Kebanggaan
terhadap keberagaman akan terjadi tatkala kita melihat kembali kebangsaan kita
di masa lampau. Menyaksikan Piagam Jakarta diubah menjadi Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyiratkan betapa pentingnya pluralisme di
Indonesia. Mempelajari zaman penjajahan, di mana semangat kedaerahan membuat
bangsa kita mudah diadu domba yang pada akhirnya membuat sekutu dengan mudah
masuk dan menjarah kekayaan bangsa Indonesia.
Kemerdekaan
yang diperoleh bangsa kita dengan tetesan darah dan keringat ini bukankah
diraih oleh kita bersama? Maka dari itu, mengawali kebanggaan terhadap keberagaman
haruslah dimulai dari sekarang. Menyaksikan maraknya radikalisme organisasi
masyarakat berbasis agama, terorisme, dan tawuran yang membabi buta akibat
bangsa yang haus akan kebhinekaan yang sejati.
Sudah
saatnya kita membuka kotak Pandora untuk menemukan jawaban teka-teki itu.
Tatkala kotak itu terbuka, ternyata hanya ada cermin didalamnya. Ya, jawaban
dari pluralisme itu terletak pada diri kita masing-masing. Kita takkan pernah
bisa menyelesaikan persoalan ini tatkala kita masih menganggap diri kita
berbeda dengan masyarakat Indonesia lainnya. Kita harus mengendurkan ego dan
memperkokoh toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mustahil
membangun kebanggaan terhadap keberagaman, tatkala perbedaan golongan masih
menjadi sekat pembatas bagi bangsa Indonesia. Ketika kita membuka hati untuk
berjalan beriringan sebagai rekan seperjuangan, kita akan sadar bahwa kemajuan
sebuah bangsa adalah kemajuan bersama. Ibarat kepingan puzzle, kehadiran
setiap suku, agama, etnis, dan golongan akan menjadi elemen penting yang saling
melengkapi untuk menjadikan gambaran yang utuh tentang Indonesia.
Ibarat
menemukan jawaban dari mahakarya seni, kita akan sadar bahwa Indonesia adalah
bangsa yang bernilai sangat tinggi di mata dunia. Nilai keberagaman berpadu toleransi
yang tergambar jelas pada setiap sendi kehidupan masyarakatnya tidak dapat
ditiru dan dibeli dengan uang oleh masyarakat manapun di dunia ini. Ketika kita
mengetahui nilai dari Indonesia, maka kita akan sadar untuk menjaganya tetap
utuh dan terawat hingga anak cucu kita kelak.
Tidak
perlu ada lagi yang merasa dianaktirikan dan tidak ada lagi perpecahan karena
kita semua disatupadukan dalam kanvas bernama toleransi yang membuat warna kuas
yang kita sapukan di tiap sudutnya tetap melekat. Bukan saling meniadakan satu
dengan yang lainnya, melainkan memberikan warna yang beragam dan kontras untuk
lukisan indah bernama keberagaman Indonesia.
IV. Epilog
Kini
aku sadar bahwa jawaban dari teka-teki itu telah terpecahkan. Ku tuliskan
“toleransi” dalam kotak kosong yang tersedia. Semua kotak terisi penuh dengan
baik dan aku bisa melanjutkan ke pertanyaan selanjutnya. Ya, aku sadar ternyata
teka-teki bernama keberagaman ini takkan pernah terjawab sebelum aku memahami
hakikat dari “Bhinneka Tunggal Ika” itu sendiri.
Jawaban
“persatuan” yang ku berikan tidaklah salah, hanya saja tidak tepat. Tatkala
berbicara tentang keberagaman, maka aku harus mengkaji proses yang ada
didalamnya. Dalam hal ini, toleransi adalah proses yang harus kita tempuh
sebelum akhirnya menghasilkan persatuan sebagai dampaknya.
Tatkala
kita bisa lulus dalam mata kuliah sulit bernama keberagaman ini, yakinlah bahwa
keindahan warna Indonesia akan semakin terasa dan kehidupan berbangsa dan
bernegara akan semakin indah tanpa adanya jurang pemisah.
****
Naskah Terbaik Ke-10 Kompetisi Esai Mahasiswa “Menjadi Indonesia” 2012
Oleh: Daniel Hermawan, FISIP Universitas Katholik Parahyangan, Bandung
makna toleransi harus tetap menyentuh pada wilayah aplikasi, jika tidak itu bulsit namanyan
ReplyDelete