Pancasila
merupakan kerangka di mana negara ini berdiri. Dalam hiearki perundang-undangan
pancasila menempati norma teratas atau biasa disebut Grundnorm(Norma dasar)
bahkan sebelum pembukaan Undang-undang dasar ataupun batang tubuh Undang-undang
dasar itu sendiri. Artinya pancasila adalah suatu nilai yang memang sudah
berada dalam masyarakat Indonesia dan menjiwai segala aktifitas orang-orang
Indonesia.
Mari sama-sama kita resapi sejenak sila
pertama dari fondasi berdirinya negara kita ini:
“Ketuhanan yang maha esa”
Sila ini merupakan sila yang paling
pertama dibacakan. Sila ini yang menurut Muhammad Hatta menjiwai empat sila
dibawahnya. Sila pertama berupa ketuhanan yang maha esa merupakan fundamen
utama sebagai pengunci karakter bangsa kita sebenarnya.
Pada awal perumusan ini, sila “ketuhanan
yang maha esa” sebelumnya adalah “ketuhanan yang berkebudayaan”. Artinya
nilai-nilai ketuhanan yang dipegang erat oleh seluruh masyarakat Indonesia
merupakan nilai yang menjadi dasar moral. Ia tidak bersifat menyerang tetapi
saling toleransi. Toleransi dalam hal ini diwujudkan untuk saling menghargai
antara tuhan masing-masing yang diyakini benar menurut diri atau kelompok
masing-masing.
Sejarah mencatat bahkan sebelum ditulis
ketuhanan yang maha esa, terdapat perdebatan panjang yang kita kenal dengan
istilah pencantuman tujuh kata setelah kata ketuhanan. Tujuh kata tersebut
adalah “dengan menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya”.
Ketika kembali pada ruh sila pertama
yakni ketuhanan yang toleransi maka jelas telah menyimpang. Toleransi yang
diartikan dengan suatu sikap menghargai suatu aspek yang berbeda malah dimaknai
sebagai toleransi golongan non-islam kepada golongan islam. Seakan-akan fondasi
negara ini dimaknai sebagai sarana pengikat golongan tertentu saja. Ketuhanan
itu hanya milik golongan agamaitu saja. Saya melihat ada indikasi marjinalisasi
terhadap penganut agama lain apabila tujuh kata itu diterapkan.
Untungnya tujuh kata ini mendapat protes
keras oleh golongan nasionalis karena dianggap dapat mengganggu ketentraman
nasional. Sehingga pada akhirnya tujuh kata tersebut dipangkas menjadi tiga
kata saja, yang maha esa.
Namun benarkah konsepsi ketuhanan yang
ada di seluruh agama di Indonesia adalah yang esa?
Saya mulai dengan konsepsi ketuhanan
dalam keyakinan yang dianut oleh orang Indonesia asli. Jauh sebelum munculnya
Hindu, Buddha, Islam ataupun Kristen. Nenek moyang kita telah menganut
kepercayaan akan adanya zat yang gaib. Kepercayaan ini menyebar hampir di
seluruh wilayah di nusantara dalam istilah yang berbeda-beda. J. Esink
menyatakan masyarakat Indonesia pada zaman ini melakoni konsepsi dualisme
keyakinan tertentu yang dihubungkan dengan alam seperti Bapa Angkasa-Ibu
Pertiwi, Kaja-Kelod, Kiri-Kanan. Dua kekuatan yang diyakini ini menyelaras dan
menciptakan harmoni semesta. Selain itu ada keyakinan yang mengasosiasikan
gunung sebagai simbol penyembahan kepada sang pencipta. Itupun terjadi karena
dilatarbelakangi kepercayaan bahwa gunung-gunung menjadi tempat para dewa
berada. Konsepsi ketuhanan yang maha esa sebagai satu-satunya pencipta dunia
ini dianut oleh agama seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha,
Konghucu(Confusianis) dan beberapa agama asli nusantara seperti keyakinan
Kacaktyan pada Jawa Kuna. Adanya perbedaan keyakinan ketuhanan ini masih bertahan
sampai sekarang. Data dari kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun
2003 mencatat masih ada kepercayaan asli Meskipun kini kepercayaan asli
Indonesia hanya dianut oleh minoritas warga Indonesia.
Oleh karena itu saya berpendapat bahwa
keberagaman konsepsi tuhan itu tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan
bahwa konsep ketuhanan seluruh agama di Indonesia adalah ‘yang maha esa’.
Konsepsi tersebut hanya berlaku untuk sebagian kepercayaan saja, bukan
keseluruhan.
Lagipula sila “ketuhanan yang maha esa”
tidak bisa diresapi hanya dengan mengambil sebagian kata seperti hanya meyakini
‘ketuhanan’ atau ‘yang maha esa’ saja. Hal itu dapat mencederai keyakinan pada
pancasila itu sendiri ataupun keyakinan terhadap ‘ketuhanan’. Bahkan ada
beberapa golongan di Indonesia yang tidak meyakini adanya tuhan. Akan terasa
sangat membingungkan untuk meresapi pancasila ke dalam hati jika substansi
ketuhanan yang ada hanya dipatok pada keesaannya. Seandainya saja kita menganut
konsep tuhan yang tidak esa, bagaimana bisa kita dapat meyakini kebenaran
pancasila sebagai falsafah yang benar-benar ada dari, oleh dan untuk bangsa?
Mungkin sebagai seorang yang awam atas
suatu falsafah kenegaraan, saya belum memenuhi kompetensi untuk emgkritisi hal
ini. Tetapi kritik yang saya utarakan ini memakai pendekatan peresapan dari
hati. Melalui pendekatan tersebut saya berkesimpulan kalau ini adalah hal yang
salah. Pancasila sebagai norma dasar haruslah mempunyai keselarasan antara arti
redaksi dengan makna sebenarnya. Saya kira perbedaan ‘ketuhanan yang maha esa’
dengan ‘ketuhanan yang berkebudayaan’ adalah jelas. Bagi saya ‘ketuhanan yang
maha esa’ adalah menjalani kehidupan dengan dasar nilai-nilai ketuhanan yang
bersifat esa. Sedangkan ‘ketuhanan yang berkebudayaan’ adalah membudayakan
nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari. Terbebas dari bagaimana
konsep tuhan yang bisa saja diyakini secara berbeda oleh setiap penganut
keyakinan tertentu di Indonesia.
Saya berpendapat bahwa perubahan redaksi
pada sila pertama adalah perlu. Kalimat ‘Ketuhanan yang berkebudayaan’ adalah
kalimat yang relevan untuk dipakai untuk membingkai empat sila pancasila
lainnya. Kalimat tersebut relevan dengan fakta bahwa sampai saat ini tidak
semua agama di Indonesia menganut konsep ketuhanan yang maha esa. Frasa ‘yang
maha esa’ menjadi arti yang sangat sempit karena bisa berpotensi menisbikan
kemajemukan agama yang sudah ada di Indonesia. Sedangkan Kalimat ‘ketuhanan
yang berkebudayaan’ juga dapat menjadi fasilitas dasar yang sangat dipakai
untuk mengembangkan demokrasi karena tidak bergantung pada salah satu sifat
ketuhanan, melainkan nilai-nilai. ketuhanan itu sendiri dan pengakuan
keberagaman keyakinan yang ada di negeri ini melalui toleransi.
Menuju Negeri Tanpa Diskriminasi
Menurut saya ini adalah akar dari
permasalahan mengapa begitu banyak diskriminasi terhadap pemeluk keyakinan yang
minoritas di negara ini. Orang-orang boleh bebas memeluk kepercayaan dijamin
oleh negara hanya ketika ia memeluk agama mayoritas. Hal ini terbukti dari
pengakuan 6 agama saja di Indonesia yakni Islam, Kristen Katolik, Kristen
Protestan, Buddha, Hindu dan Kong Hu Cu.
Pengakuan ini berimbas pada banyak hal,
salah satunya adalah data kependudukan. Warga pemeluk agama minoritas selain
yang diakui negara dipaksa mencatut agama yang tidak diyakininya jika ingin
memperoleh KTP. Inikah semangat ketuhanan yang toleran yang ada dalam sila
pertama pancasila?
Merupakan langkah yang sangat tepat
apabila perubahan redaksi sila pancasila diberlakukan. Perubahan redaksi ini
bukanlah menghilangkan makna dan semangat yang terkandung di dalamnya melainkan
hanya sekedar perubahan frasa dari ‘yang maha esa’ menjadi ‘yang
berkebudayaan’. Jiwa untuk menghayati konsep ketuhanan yang benar-benar khas
Indonesia adalah tidak melulu yang esa tetapi seperti apa yang dikatakan oleh
Soekarno, ketuhanan yang berkebudayaan. Perubahan redaksi ini tidak
mengakibatkan bubar atau runtuhnya suatu negara karena perubahan tersebut
dilandasi oleh penghayatan nilai ketuhanan yang telah ada jauh sebelum republik
ini berdiri.
Sebaliknya apabila tidak dilakukan
perubahan akan terjadi penyimpangan nilai luhur yang terkandung secara maknawi
dalam sila pertama pancasila karena kesalahan penafsiran. Artinya, diskriminasi
keyakinan ketuhanan yang ada selama ini seakan selaras dengan pancasila.
Oleh karena itu perubahan ini menurut saya
menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan untuk menciptakan Indonesia,
negara yang berlandaskan ketuhanan meski berada dalam konsepsi yang berbeda.
Perbedaan tersebut bukanlah bersifat serang-menyerang, caci maki atapun ragam
diskriminasi. Namun perbedaan tersbut didasari oleh toleransi sehingga akhirnya
berujung pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmoni.
Naskah Terbaik Kelima Kompetisi Esai Mahasiswa “Menjadi Indonesia” 2012
Oleh: Robbi Irfani Maqoma, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
negeri tanpa diskriminasi, adalah upaya dan bentuk dari kesatuan ditengah perbedaan, bisakah dalam dunia nyata, atau hanya retorika semata
ReplyDelete