Dengan kata lain, kelisanan merupakan ruang
bertutur dari anggota masyarakat yang merawat hidup bermakna sebelum keberaksaraan
dituliskan.
Kedua, tradisi tulis adalah tradisi mulai diberaksarakannya dalam simbol
alfabetisasi yang dengan abjad menuliskan pengalaman-pengalaman hidup yang ada
dalam tradisi lisan untuk dituliskan. Sejarah bahasa tulis merupakan sintesis antara
apa yang di sebut oleh Ferdinand de Saussure dalam bahasa formal tertulis yang
mengikuti per-syaratan logika keberaksaraan hingga dimengerti sebagai langue
misalnya dalam kaidah bahasa Indonesia tulis sebuah kalimat menjadi dimengerti
kalau mengikuti aturan logika bahasa tulis S-P-O-K
(Subjek–Predikat–Objek–Keterangan).
Tradisi tulisan disebut oleh Wolter J. Ong sebagai keberaksaraan yang
disepakati pemakai bahasa untuk menuliskan pengalaman menghayati hidup bukan
dalam kelisanan dan bukan sebagai diskursus. Apa yang hilang ketika dari
tradisi lisan pengalaman hidup ditulis? Roh, suasana dan konteks tak
tertuliskan dan tak terbahasakan secara alfabetikal dalam kelisanan tereduksi
oleh hukum logika tulis yang dalam semiotika (sistem tanda) mau dikembalikan
menjadi terbaca.
Roh Kelisanan dalam Tulisan
Apa yang hilang dari kelisanan ketika dituliskan? Adalah seluruh suasana
tuturan dan getar cakapan-cakapan yang tidak terangkum dalam logika bahasa
tulis. Pertanyaan kritis disini adalah pada awalnya lebih dahulu terjadi
tradisi lisan dengan episteme (jejak pengetahuan yang merupakan pengetahuan
lapangan hidup sehari-hari) ataukah tradisi tulisan yang merupakan tempat studi
refleksi atas realitas dalam bahasa tulis? Karena itu, Ferdinand de Saussure melanjutkannya
dalam wilayah parole yaitu wilayah bahasa cakap-cakap dan lisan sehari-hari,
namun bila mau meneliti secara ilmiah refleksi realitas tidak bisa disini,
tetapi harus di wilayah langue (bahasa resmi).
Dari dua tradisi lisan dan tulisan, ketika seseorang lahir didalamnya, maka ia
tidak hanya sudah berada dalam rahim salah satu tradisi, misalnya lisan, tetapi
sekaligus ia mengemban tradisi yang taken for granted dalam dirinya itu untuk dikembangkan
dan menjadi tugas kebudayaan dalam membahasakan dan memaknai kenyataan. Disini
agar seseorang melanjutkan tradisinya sebagai tugas kebudayaan ada dua syarat
yang harus ia penuhi. Syarat pertama ia harus memahami dan hidup dari
tradisinya serta mampu menangkap roh-nya. Syarat kedua ia harus mampu
mendialogkannya dengan perkembangan tradisi baru dalam dinamika kebudayaan yang
ia jumpai.
Dengan kata lain, roh tradisi lisan, dimana misalnya seni adalah mempermuliakan
kehidupan dan merayakannya dalam upacara, ritus festival lalu bertemu dengan
formalisasi keharusan penulisan secara logis, rasional, sistematis, disana: roh
kelisanan yang memuliakan hidup harus tetap menemukan perayaannya dalam keberaksaraan
tradisi tulisan. Sebab, formalisasi tulisan atau teks tertulis itu berciri
membakukan, namun mudah membekukan apa-apa yang festival dan makna perayaan tak
tertulis dari pengalaman menghayati kehidupan.
Proses Ziarah Indonesia dan Pasca-Indonesia
Bagaimana ikhtiar mengambil roh tradisi lisan? Dengan hidup didalamnya,
merayakan dan menyerap melalui para local genius: kearifan-kearifan budaya
setempat; dengan mendeskripsi apa yang benar-benar hidup dan sedang dihidupi
oleh budaya tradisi lisan serta dari dalam (intrinsik) berusaha membaca makna
di balik tanda; renung arti di balik penanda dan nyanyi-nyanyi kebijaksanaan
hidup. Di balik dongeng-dongeng lisan, pantun, hikayat kebijaksanaan serta
rupa-rupa ajaran harmoni alam, harmoni langit dan harmoni antar sesama. Tradisi
kelisanan disini amat muncul dalam religi bumi yang memuliakan kehidupan tanah
dan air dimana manusia mendapatkan hidupnya dari bumi, maka ia tidak akan memperkosanya
dan menghancurkannya. Sementara itu religi langit lebih menggantungkan pujian
syukur atas kehidupan pada yang di LANGIT, sehingga ekspresi hormat pada bumi
kadang dikalahkan pada yang vertikal.
Dalam dialog antara tradisi lisan dan tulisan, bila salah satu tradisi belum
dipahami oleh yang bersangkutan sebagai rahim budayanya kemudian ia dihadapkan
pada tradisi berikutnya, akankah terjadi hibriditas atau wajah indo dalam pembatinan
rahim tradisi? Lebih tajam lagi, apabila seseorang belum meminum dari sumur-sumur
tradisinya, apakah ia akan meloncat dalam keadaan terpecah ke dalam tradisi
mutakhir yang menerpanya: tradisi kelisanan kedua atau secondary orality dalam
budaya media tv dan talkshow?
Jawaban pertama, dari mazhab kehidupan harus menegaskan pentingnya akar atau
oasis tradisi seseorang untuk identitasnya. Jawaban kedua, dari mazhab bahwa
seseorang langsung berziarah sejak ia dilahirkan dalam tradisinya apa pun
isinya, tidak usah mencari-cari akar, namun bertitik tolak dari eksistensinya
ia berhak terus melanjutkan proses budayanya semisal seseorang yang lahir
sekaligus dengan campuran kebatakan, kejawaan dan keindonesiaan di Jakarta,
tidak harus ia menyelami tiga tingkatan tradisi bahasa Jawa halus dan tidak
harus tahu bahasa Jawa, namun yang penting adalah proses ziarah Indonesia dan
pasca-Indonesia. Dengan demikian ruang dialog antar tradisi bisa sekaligus
dilakukan bertahap dan serentak antara kelisanan dan tulisan, antara kejawaan
dan keindonesiaan, antara tradisi lisan dengan tulisan dan yang paling akhir
dengan budaya visual.
PENULIS : Mudji Sutrisno, budayawan
Sumber : KOMPAS
No comments:
Post a Comment