Dirgahayu Republik Indonesia 64 tahun.Dalam usia kemerdekaan
yang tidak lagi muda—relatif hampir sama dengan rata-rata usia harapan hidup
manusia Indonesia sekarang ini—, sepatutnya kita melakukan retrospeksi dan
refleksi.
Dengan begitu kita dapat menghindarkan diri dari
kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi dalam sejarah; dan sebaliknya melangkah
lebih pasti menuju Indonesia yang lebih jaya, berharkat, dan bermartabat baik
ke dalam maupun ke luar.
Dalam retrospeksi dan refleksi itu,suatu hal sudah pasti: di tengah berbagai
masalah dan agenda demokratis dibandingkan dengan
masa-masa sebelumnya,baik di era Orde Lama maupun Orde Baru. Hal itu tidak lain
berkat Reformasi (jilid I) yang terjadi sejak 1998 yang terbukti menjadi
”gerbang emas”menuju Indonesia yang demokratis.
Indonesia dengan transisi dan konsolidasi demokrasinya yang
berjalan secara damai bagi sementara kalangan—khususnya para Indonesianis
asing—merupakan salah satu dari “keajaiban Indonesia” (Indonesian miracles).
Dengan tingkat keragaman, kesenjangan, dan masalah-masalah lain yang
membebaninya, kalangan ini sulit membayangkan bahwa Indonesia bisa survive di
tengah perubahan- perubahan yang begitu cepat dan berdampak luas dan panjang
sejak bermulanya era Reformasi 1998.
Bahkan, sebaliknya, cukup banyak di antara mereka yang
memprediksikan “skenario kiamat” (doomsday scenario) bahwa Indonesia segera
mengalami proses “Balkanisasi”—terpecahbelah seperti terkeping-kepingnya
wilayah Balkan di Eropa Timur–– begitu demokrasi diperkenalkan. Namun,menghapus
segala bentuk skeptisisme itu, Indonesia tidak hanya mampu bertahan, tapi malah
sebaliknya terus melangkah dengan transisi dan konsolidasi demokrasinya.
Meski proses-proses demokrasi yang dijalankan Indonesia seperti terlihat dalam
pemilu legislatif pada 1999, pemilu legislatif dan pemilu presiden secara
langsung 2004 dan 2009 tetap mengandung masalah- masalah tertentu, secara umum
pengalaman Indonesia dengan demokrasi cukup mencengangkan banyak kalangan luar.
Inilah “keajaiban Indonesia” yang sulit dipahami banyak orang—tidak hanya
kalangan asing,tetapi juga bahkan sebagian warga Indonesia sendiri.
Sebab, bukan rahasia lagi, terdapat kalangan masyarakat
Indonesia—meski jumlahnya relatif sangat kecil—yang menolak demokrasi karena
bagi mereka, demokrasi yang berangkat dari prinsip vox populi vox dei (suara
rakyat adalah suara Tuhan) bertentangan dengan konsep politik yang mereka
yakini bahwa vox dei vox populi (suara Tuhan adalah suara rakyat).Bagi mereka,
tidak ada “kedaulatan rakyat”, yang ada hanyalah “kedaulatan Tuhan” (hakimiyyah
Allah) yang bisa dipersoalkan
lagi.
Adalah “keajaiban Indonesia” bahwa negara ini diberkahi
pemahaman keagamaan “jalan tengah”— khususnya Islam yang merupakan agama yang
dipeluk mayoritas mutlak bangsa Indonesia. Pemahaman dan praktik Islam “jalan
tengah” (washat) memungkinkan negara ini tanpa kesulitan yang berarti menerima
dan menerapkan demokrasi.
Hal ini sudah berlangsung sejak Indonesia secara resmi
mencapai kemerdekaannya meski kemudian pengalaman demokrasi itu berubah-ubah,
sejak “Demokrasi Liberal”,“Demokrasi Terpimpin”, “Demokrasi Pancasila”, dan
terakhir “Demokrasi Reformasi”sekarang ini. Tidak kurang pentingnya, pemahaman
“jalan tengah” itu ditopang mayoritas terbesar umat beragama, yang tergabung ke
dalam ormas-ormas yang sering saya sebut sebagai religious-based civil
society—masyarakat sipil (kewargaan atau madani) berbasis
agama.
Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta beberapa waktu lalu menemukan, umat beragama yang menjadi
anggota atau terlibat dalam kegiatan ormas-ormas ini memandang demokrasi
sebagai sistem politik paling tepat bagi Indonesia yang demikian plural dari
berbagai segi. Mereka tidak melihat demokrasi sebagai sistem politik yang tidak
cocok (incompatible) dengan agama—dalam hal ini Islam.
Karena itu ke depan, ormasormas yang juga memainkan peran penting sebagai civil
society mestilah diberdayakan, bukan hanya untuk memastikan agar demokrasi
terus dapat terkonsolidasi dengan baik,tetapi sekaligus juga guna memastikan
tetap terpeliharanya paradigma tentang kesesuaian di antara Islam dan
demokrasi.Tanpa pemberdayaan yang kontinu, bukan tidak mungkin argumen mereka
yang menolak demokrasi mendapatkan kian banyak pendukung.
Dalam kaitan itu, kepemimpinan nasional sepatutnya menjalin komunikasi politik
yang efektif dengan figur-figur masyarakat sipil dengan memberikan akses
seluas- luasnya kepada mereka untuk berdialog dan menyampaikan langsung concern
mereka. Sulitnya akses kepada kepemimpinan nasional dapat kontraproduktif dalam
upaya pengembangan iklim sosial-politik dan bahkan keagamaan yang kondusif bagi
kemajuan bangsa dan negara.
Jika Presiden SBY dalam pidato kenegaraannya menyambut Hari Kemerdekaan pada 14
Agustus lalu menyebut tentang perlunya reformasi gelombang kedua, hal itu
mengisyaratkan tentang masih banyaknya agenda reformasi pasca-1998 yang belum
selesai. Reformasi gelombang kedua itu dimaksudkan untuk membebaskan Indonesia
dari dampak dan ekor krisis yang terjadi 10 tahun lalu.Jika reformasi “jilid
II”ini berhasil, pada 2025 Indonesia dapat benar-benar bergerak menuju negara
yang maju.
Pernyataan itu mengisyaratkan semacam optimisme meski tahun 2025 merupakan masa
yang agaknya terlalu lama bagi Indonesia untuk bisa menjadi sebuah negara yang
benar-benar maju. Memang—sekali lagi—masalahmasalah yang dihadapi Indonesia
dewasa ini masih tetap saja sangat berat dan kompleks.Namun langkah- langkah
terobosan perlu dilakukan sehingga dapat mencegah terjadinya akumulasi
ketidakpuasan yang boleh jadi meledak sewaktu-waktu sehingga bukan tidak
mungkin bisa mencabikcabik negara-bangsa
ini.
Dalam konteks itu,konsolidasi demokrasi seyogianya diarahkan menjadi sistem
politik yang lebih efektif dan efisien untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Target ini hanya bisa dicapai dengan kebijakan dan program
pembangunan afirmatif untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan berbagai
bentuk kenestapaan kehidupan lainnya. Jika tidak, bukan tidak mungkin
masyarakat kehilangan kepercayaan pada demokrasi yang pada gilirannya mendorong
mereka untuk menerima alternatif-alternatif sistem politik lainnya.
Karena itulah ke depan, pengelolaan negara tidak bisa secara business as usual
atau cepat berpuas diri dengan pencapaian tertentu—yang secara angka dan
statistik kelihatan cukup membesarkan hati. Namun, sebaliknya, mestilah dengan
penuh keberanian dan kepercayaan diri untuk melakukan perubahan dan perbaikan
sesegera mungkin.(*)
Azyumardi Azra,
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
No comments:
Post a Comment