Friday, April 19, 2013

"Candu" kekuasaan



http://4.bp.blogspot.com/




___________________________________________

Manusia adalah mahluk yang tidak pernah puas dengan apa yang ia miliki. Sifat ingin menguasai,memiliki adalah sifat yang mutlak dimiliki tiap orang sehingga kecendrungan pada sifat tersebut sangatlah manusiawi tergantung pada tiap individu besar dan kecil kecendrungan itu. Dan jika saja manusia diberikan satu planet maka ia pun tidak akan puas juga  karena ia akan berusaha mengejar untuk planet yang kedua,ketiga dan seterusnya, karena sebetulnya rasa puas itu bersifat relativ. Jika telah merasa cukup dengan kondisi yang ada maka puaslah,begitu juga sebaliknya jika selalu merasa kurang maka tidak ada suatu apapun untuk memuaskan.

Sama halnya dengan kekuasaan,pemimpin negara (presiden),gubernur,wali kota dan bupati adalah jabatan  kekuasaan yang disandang oleh seseorang. Maka karena jabatan itu melekat pada manusia yang memiliki kecendrungan menguasai dan memiliki jabatan lebih lama  maka kekuasaan harus di batasi.

Manisnya kekuasaan membuat sebagian orang banyak yang berfikir untuk semakin mengukuhkan kekuasaanya dan kekuasaan itu ingin terus di genggamnya. Benar jika ada yang menyebut kekuasaan adalah candu. Seperti halnya candu,banyak pemimpin negara didunia yang menjabat puluhan tahun yang tanpa sadar bahwa mereka telah lama berkuasa saking nikmatnya kekuasaan itu.hanya yang sedang berkuasa yang tahu kapan akan berhenti.

Banyak tokoh yang mungkin bisa dikatakan “mabuk” kekuasaan. Di indonesia soekarno dan soehar presiden yang lama berkuasa hingga mreka seperti menikmati candu dan pada akhirnya “Merusak” diri mreka sendiri, egois, sok kuasa dan tidak mau mendengarkan kritik. Tokoh yang lain sadam husein,mahatir,khusni mubarak dsb. Merupakan pemimpin besar dan hebat yang dicatat oleh sejarah karena terlalu lama berkuasa sehingga mengubah sikapnya menjadi otoriter, dan pada akhirnya jatuh.

Bahaya jika rakyat memberikan kekuasaan pada seorang yang sudah lama menjabatnya. Pemimpin yang terlalu lama berkuasa akan mengubah sikap dan tindakannnya secara otoriter. Kekuasaan yang terlalu lama juga akan mengubah pemimpin yang baik sekalipun menjadi sosok yang bertindak layaknya raja dan ratu. Biasanya kegagalan mengubah sikap dantindakan penguasa yang otoriter biasanya berujung kekacaun keamanan nasional,muncul gerakan separatis di daerah-daerah,dan kadang berakhir pada pemakzulan dan kudeta.

Rakyat memiliki andil yang besar dalam menentukan pemimpinnya, dengan tidak memilih calon pemimpin yang telah lama berkuasa. Meskipun saat ini telah ada peraturan yang mengatur pemimpin tidak boleh lebih dari sepuluh tahun. Memang tidak di mungkinkan seseorang memimpin lebih dari sepuluh tahun karena peraturannya mengatur demikian namun banyak cara yang di lakukan oleh orang yang terlanjur “candu” pada kekuasaan salah satunya dengan mencalonkan istri,anak atau saudaranya untuk terus mengukuhkan jabatannya.

Membagun tradisi pembatasan waktu kekuasaan merupan suatu keharusan di barengi degan sosialisasi kepada rakyat bahwa kekuasaan yang dijalankan terlalu lama tidak akan konsisten amanah kecuali pemimpin itu para Rasul atau Nabi.




Sunday, April 14, 2013

pasir dan buih


Bagaimanapun penjara itu tidak buruk,
Tapi kau tidak menyukai
Dinding antara selku dan sel pesakitan lain,
Tiada niatku mengecam si penjaga,
Ataupun sang pembangun penjara


***

Kebenaran orang lain bukannya yang di ungkapkannya kepada mu 
Namun dalam segala yang tak dapat diungkapkan nya padamu
Oleh sebab itu, apabila kau  hendak memahaminya,
Jangan dengarkan apa yang dia katakan,
Namun apa yang tak terkatakan


***
Tetang kebenaran hakiki aku tak tahu,
Tapi aku rendah  hati di hadapan kebodohan,
Dan disitulah kehormatan dan gan jaran

Thursday, April 11, 2013

Tahun Memburu Kuasa


Kita semua berharap pada semua pihak yang terkait dengan pemilihan umum-KPU,Bawaslu-dan masyarakat indonesia secara umum untuk menagwasi jalannya pemilihan umum agar cita-cita bersama sebagai bangsa dapat terwujud. Masyarakat yang aman dan sejahtera,jayalah indonesia .


Ajang pesta demokrasi lima tahunan telah didepan mata,kita lebih suka menyebutnya dengan “Pesta” demokrasi karena pada pesta tersebut menelan anggaran negara yang tidak sedikit. Mahalnya ongkos demokrasi ini tidak berbanding lurus dengan hasil yang di inginkan oleh rakyat. Kesejahteraan masih jauh dari harapa, kemiskinan terus meningkat dan kesenjangan sosial di masyarakat masih tinggi. Seharusnya hal tersebut dapat dijadikan pelajaran berharga oleh eksekutif dan legislatif yang akan mencalonkan kembali pada pesta demokrasi 2014 yang akan datang.

Tahun ini mungkin merupakan tahun “pencitran” bagi partai-partai yang akan bersaing pada pemilu 2014 mendatang. Kampanye di berbagai media cetak sudah mulai di lakukan oleh calon yang secara terang terangan menyatakan sebagai bakal jalon presiden 2014.Abu rizal Bakrie misalnya, sudah lama mencitrakan dirinya di media dengan sosok yang sederhana,dekat dengan rakyat kecil dan banyak menciptakan Usaha kecil dan menengah. Biaya untuk membayar media sebagai alat yang dianggap efektif untuk mendulang suara pada pemilihan umum membuat para  bakal calon eksekutif ataupun legislatif yang akan datang berlomba mencari sumber dana yang tidak wajar demi pemenangan kelompok dan partai di tahun mendatang.Berapa banyak politisi akhir-akhir ini yang tertangkap KPK karena kasus Korupsi. Kinerja pemerintahan dan DPR selama ini juga tidak memuaskan rakyat.

DPR yang sejatinya menjadi corong membawa aspirasi rakyat untuk pemerintah,wakil rakyat yang seharusnya mengawasi anggaran melalui Badan anggaran yang ada D DPR saat ini malah ikut bermain dan kongkalikong ikut menggrogoti anggaran. Sebut saja kasus yang baru wisma atlet, hambalang,simulator SIM polri dan impor daging sapi yang banyak menyeret petinggi partai dan menteri.
Menjelang 2014 ini banyak politisi daerah atau pun pusat yang mulai mempersiapkan diri sebagai calon eksekutif dan legislatif dengan belusukan kedaerah pemilihannya.hal tersebut tentu wajar dilakukan oleh calon untuk mendapat dukungan dari masyarakan. Namun hal yang lebih penting adalah menjalankan tugas dan kewajibannya yang telah di amanatkan rakyat dalam pemilihan Umum tahun 2009 yang lalu.Menjalankan tugas yang diamanahkan dengan baik jauh lebih utama.

Perbincanagan tentang DPR yang tidak menjalankan amanahnya dengan baik bukanlah isapan jempol belaka,sudah lama media menyoroti tentang prilaku sebagian dari wakil rakyat yang hanya mendapatkan gaji dan fasilitas dari negara namun kinerja mereka tidak lebih baik.Terbukti akhir-akhir ini anggota DPR banyak  yang bolos saat sidang paripurna.Dari beberapan fraksi yang ada,mayoritas hampir separuh dari anggota tiap fraksi yang bolos alias tidak ikut sidang.

Terlepas dari banyak anggota Dewan yang kata terhormat tersebut melakukan hal yang menciderai kepercayaan rakyat,saya yakin diantara sekian banyak anggota dewan tersebut yang masih baik,masih ada anggota dewan yang memegang teguh amanah dan menjalankan dengan penuh tanggung jawab, masih ada di antara mereka yang tidak mudah menggadaikan idealisme hanya demi uang,dan saya percaya diantara mereka masih ada yang memiliki hati nurani dan keyakinan  bahwa jabatan dan kedudukan tidak hanya  dimintakan pertanguangan jawab di hadapan manusia saja  namun juga Dihadapan Tuhan.

Tugas kita bersama untuk memberikan pendidikan politik kemada Rakyat dalam hal memilih pemimpin, karena tidak semua Rakyat tahu siapa yang pantas mereka pilih yang benar-benar menjadi wakil dari aspirasi mereka.Kebanyakan masyarakat kita masih tergantung pada siapa yang mengajak mereka dan di anjurkan untuk memilih siapa.

Inilah salah satu kelemahan dari sistem demokrasi yang kita jalankan. Mahalnya ongkos pesta demokrasi membuat para politisi dan masyarakat berpikir serba materealis,seolah tidak ada yang lebih berharga dari sebuah materi.Tidak heran jika dalam pemilihan Umum banyak calon yang sembunyi-sembunyi ataupun terang terangan membagikan uang,sembako,baju dan semacamnya untuk mendapatkan suara. Dan akibat dari mvahalnya ongkos Demokrasi tersebut calon yang menang dari hasil “Membeli suara” sebisa mungkin mengembalikan ongkos yang telah dibayarnya dengan Mahal.

Wednesday, April 10, 2013

Kotak Pandora bernama toleransi


I. Prolog
Keberagaman itu masih berupa teka-teki silang yang membutuhkan jawaban sebelum akhirnya berlanjut pada pertanyaan selanjutnya. Aku masih terpaku pada pertanyaan di kolom mendatar: Apakah arti “Bhinneka Tunggal Ika”? Aku ingin menjawab “persatuan” pada kolom yang kosong itu, namun sayang jumlah kotak yang ada tidak memadai. Aku bertanya dalam hati, apakah pertanyaan ini tidak memiliki jawaban atau lebih tepatnya belum terjawab oleh pembuat teka-teki silang ini?

Memahami keberagaman secara holistik mungkin masih menjadi mata kuliah sulit bagi masyarakat Indonesia. Ibarat mengkaji lukisan Monalisa dengan senyum misteriusnya, kita masih bertanya-tanya apakah penghormatan terhadap keberagaman itu nyata adanya? Sebagai bangsa yang masih balita dalam memahami keberagaman, respon kita terhadap lukisan agung bernama persatuan itu masih destruktif. Ada yang merusak, menodai, atau bahkan membakar karya seni agung itu karena tidak tahu betapa berharganya nilai kebanggaan terhadap keberagaman itu.
Keberagaman itu tetaplah menjadi pertanyaan yang tidak akan pernah bisa dijawab, sampai kita mau membuka kotak Pandora bernama toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

II. Refleksi
Sembilan belas tahun yang lalu, aku terlahir sebagai orang keturunan di Indonesia. Aku tinggal di lingkungan masyarakat Sunda yang sangat kental. Tak heran, sejumlah budaya Sunda melekat kuat dalam diriku, salah satunya adalah Bahasa Sunda.

Aku tumbuh, berkembang, dan mengukir prestasi di Bumi Parahyangan ini. Sekolahku pun terletak dekat dengan lingkungan masyarakat pribumi. Setiap pagi, aku berjalan kaki ke sekolah melewati rumah warga sekitar. “Eta aya si Cina. Cina!” (Itu ada si Cina. Cina!) Kalimat itulah yang ku dengar dengan nada mengejek dan menghina etnisku. Ku percepat langkahku menuju sekolah dengan rasa sesak di dada.

Beranjak dewasa, aku aktif mengikuti berbagai kegiatan, seminar, dan lomba. Tatkala aku menuju meja pendaftaran, beberapa bibir mencibirku. “Haiya, ada orang Cina mau ikutan seminar!” Selentingan yang membuatku merasa terasing di negeriku sendiri. Mungkinkah aku bukan bagian dari Indonesia yang katanya “Bhinneka Tunggal Ika”?

Setiap kali pelajaran PKn pada masa SD, SMP, dan SMA, aku selalu diberikan makna “Bhinneka Tunggal Ika” itu berbeda-beda, tetapi satu juga. Mungkinkah buku paket pelajaranku yang sudah usang ataukah ada revisi terbaru dari penerbit mengingat “Bhinneka Tunggal Ika” itu selama ini belum pernah ku rasakan. 

Konsep kebanggaan terhadap keberagaman itu seolah teori belaka, tanpa ada praktik nyata di lapangan.
Aku selalu mendengar di surat kabar, televisi, bahkan radio sekalipun memberitakan tatkala terjadi kerusuhan besar, warga keturunan sepertiku adalah target utama. Masih segar di ingatan orang tuaku, tatkala mempersiapkan semua kemungkinan terburuk yang terjadi akibat kerusuhan besar di tahun 1998. Meskipun kami berdomisili di Bandung, orang tuaku sadar tatkala kerusuhan itu meluas, bukan mustahil kami akan menjadi target selanjutnya.

Aku bertanya apakah aku anak tiri dari ibu bernama Indonesia? Apakah aku tidak mempunyai kesempatan, kebebasan, dan hak yang sama di tanah air tercinta ini? Aku sempat berpikir warga keturunan sepertiku mungkin ibarat air dan minyak dengan warga pribumi. Sampai kapanpun mungkin takkan bisa bersatu dan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang ku pelajari 12 tahun silam itu mungkin sebuah khayalan belaka.

Aku berharap ini hanyalah mimpi buruk. Tatkala aku terbangun, aku berharap mendapatkan jawaban dari teka-teki yang selama ini belum terisi tentang arti dari “Bhinneka Tunggal Ika”.

III. Solusi dan Aksi
Tatkala bangsa kita masih menganggap mayoritas adalah prioritas, penghormatan terhadap keberagaman itu sendiri takkan pernah terjadi. Masyarakat minoritas tetap tersisih dan mungkin terpaksa hijrah ke negara lain tatkala eksistensi mereka terancam oleh kepentingan kaum mayoritas yang tidak mementingkan kepentingan bersama.

Kebanggaan terhadap keberagaman akan terjadi tatkala kita melihat kembali kebangsaan kita di masa lampau. Menyaksikan Piagam Jakarta diubah menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyiratkan betapa pentingnya pluralisme di Indonesia. Mempelajari zaman penjajahan, di mana semangat kedaerahan membuat bangsa kita mudah diadu domba yang pada akhirnya membuat sekutu dengan mudah masuk dan menjarah kekayaan bangsa Indonesia.

Kemerdekaan yang diperoleh bangsa kita dengan tetesan darah dan keringat ini bukankah diraih oleh kita bersama? Maka dari itu, mengawali kebanggaan terhadap keberagaman haruslah dimulai dari sekarang. Menyaksikan maraknya radikalisme organisasi masyarakat berbasis agama, terorisme, dan tawuran yang membabi buta akibat bangsa yang haus akan kebhinekaan yang sejati.

Sudah saatnya kita membuka kotak Pandora untuk menemukan jawaban teka-teki itu. Tatkala kotak itu terbuka, ternyata hanya ada cermin didalamnya. Ya, jawaban dari pluralisme itu terletak pada diri kita masing-masing. Kita takkan pernah bisa menyelesaikan persoalan ini tatkala kita masih menganggap diri kita berbeda dengan masyarakat Indonesia lainnya. Kita harus mengendurkan ego dan memperkokoh toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mustahil membangun kebanggaan terhadap keberagaman, tatkala perbedaan golongan masih menjadi sekat pembatas bagi bangsa Indonesia. Ketika kita membuka hati untuk berjalan beriringan sebagai rekan seperjuangan, kita akan sadar bahwa kemajuan sebuah bangsa adalah kemajuan bersama. Ibarat kepingan puzzle, kehadiran setiap suku, agama, etnis, dan golongan akan menjadi elemen penting yang saling melengkapi untuk menjadikan gambaran yang utuh tentang Indonesia.

Ibarat menemukan jawaban dari mahakarya seni, kita akan sadar bahwa Indonesia adalah bangsa yang bernilai sangat tinggi di mata dunia. Nilai keberagaman berpadu toleransi yang tergambar jelas pada setiap sendi kehidupan masyarakatnya tidak dapat ditiru dan dibeli dengan uang oleh masyarakat manapun di dunia ini. Ketika kita mengetahui nilai dari Indonesia, maka kita akan sadar untuk menjaganya tetap utuh dan terawat hingga anak cucu kita kelak.

Tidak perlu ada lagi yang merasa dianaktirikan dan tidak ada lagi perpecahan karena kita semua disatupadukan dalam kanvas bernama toleransi yang membuat warna kuas yang kita sapukan di tiap sudutnya tetap melekat. Bukan saling meniadakan satu dengan yang lainnya, melainkan memberikan warna yang beragam dan kontras untuk lukisan indah bernama keberagaman Indonesia.

IV. Epilog
Kini aku sadar bahwa jawaban dari teka-teki itu telah terpecahkan. Ku tuliskan “toleransi” dalam kotak kosong yang tersedia. Semua kotak terisi penuh dengan baik dan aku bisa melanjutkan ke pertanyaan selanjutnya. Ya, aku sadar ternyata teka-teki bernama keberagaman ini takkan pernah terjawab sebelum aku memahami hakikat dari “Bhinneka Tunggal Ika” itu sendiri.

Jawaban “persatuan” yang ku berikan tidaklah salah, hanya saja tidak tepat. Tatkala berbicara tentang keberagaman, maka aku harus mengkaji proses yang ada didalamnya. Dalam hal ini, toleransi adalah proses yang harus kita tempuh sebelum akhirnya menghasilkan persatuan sebagai dampaknya.
Tatkala kita bisa lulus dalam mata kuliah sulit bernama keberagaman ini, yakinlah bahwa keindahan warna Indonesia akan semakin terasa dan kehidupan berbangsa dan bernegara akan semakin indah tanpa adanya jurang pemisah.
****


Naskah Terbaik Ke-10 Kompetisi Esai Mahasiswa “Menjadi Indonesia” 2012
Oleh: Daniel Hermawan, FISIP Universitas Katholik Parahyangan, Bandung

Kritik Frasa ‘Yang Maha Esa’ Sila Pertama Pancasila untuk Menuju Negeri Tanpa Diskriminasi


Pancasila merupakan kerangka di mana negara ini berdiri. Dalam hiearki perundang-undangan pancasila menempati norma teratas atau biasa disebut Grundnorm(Norma dasar) bahkan sebelum pembukaan Undang-undang dasar ataupun batang tubuh Undang-undang dasar itu sendiri. Artinya pancasila adalah suatu nilai yang memang sudah berada dalam masyarakat Indonesia dan menjiwai segala aktifitas orang-orang Indonesia.

Mari sama-sama kita resapi sejenak sila pertama dari fondasi berdirinya negara kita ini:
“Ketuhanan yang maha esa”

Sila ini merupakan sila yang paling pertama dibacakan. Sila ini yang menurut Muhammad Hatta menjiwai empat sila dibawahnya. Sila pertama berupa ketuhanan yang maha esa merupakan fundamen utama sebagai pengunci karakter bangsa kita sebenarnya.

Pada awal perumusan ini, sila “ketuhanan yang maha esa” sebelumnya adalah “ketuhanan yang berkebudayaan”. Artinya nilai-nilai ketuhanan yang dipegang erat oleh seluruh masyarakat Indonesia merupakan nilai yang menjadi dasar moral. Ia tidak bersifat menyerang tetapi saling toleransi. Toleransi dalam hal ini diwujudkan untuk saling menghargai antara tuhan masing-masing yang diyakini benar menurut diri atau kelompok masing-masing.

Sejarah mencatat bahkan sebelum ditulis ketuhanan yang maha esa, terdapat perdebatan panjang yang kita kenal dengan istilah pencantuman tujuh kata setelah kata ketuhanan. Tujuh kata tersebut adalah “dengan menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya”.

Ketika kembali pada ruh sila pertama yakni ketuhanan yang toleransi maka jelas telah menyimpang. Toleransi yang diartikan dengan suatu sikap menghargai suatu aspek yang berbeda malah dimaknai sebagai toleransi golongan non-islam kepada golongan islam. Seakan-akan fondasi negara ini dimaknai sebagai sarana pengikat golongan tertentu saja. Ketuhanan itu hanya milik golongan agamaitu saja. Saya melihat ada indikasi marjinalisasi terhadap penganut agama lain apabila tujuh kata itu diterapkan.

Untungnya tujuh kata ini mendapat protes keras oleh golongan nasionalis karena dianggap dapat mengganggu ketentraman nasional. Sehingga pada akhirnya tujuh kata tersebut dipangkas menjadi tiga kata saja, yang maha esa.

Namun benarkah konsepsi ketuhanan yang ada di seluruh agama di Indonesia adalah yang esa?
Saya mulai dengan konsepsi ketuhanan dalam keyakinan yang dianut oleh orang Indonesia asli. Jauh sebelum munculnya Hindu, Buddha, Islam ataupun Kristen. Nenek moyang kita telah menganut kepercayaan akan adanya zat yang gaib. Kepercayaan ini menyebar hampir di seluruh wilayah di nusantara dalam istilah yang berbeda-beda. J. Esink menyatakan masyarakat Indonesia pada zaman ini melakoni konsepsi dualisme keyakinan tertentu yang dihubungkan dengan alam seperti Bapa Angkasa-Ibu Pertiwi, Kaja-Kelod, Kiri-Kanan. Dua kekuatan yang diyakini ini menyelaras dan menciptakan harmoni semesta. Selain itu ada keyakinan yang mengasosiasikan gunung sebagai simbol penyembahan kepada sang pencipta. Itupun terjadi karena dilatarbelakangi kepercayaan bahwa gunung-gunung menjadi tempat para dewa berada. Konsepsi ketuhanan yang maha esa sebagai satu-satunya pencipta dunia ini dianut oleh agama seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu(Confusianis) dan beberapa agama asli nusantara seperti keyakinan Kacaktyan pada Jawa Kuna. Adanya perbedaan keyakinan ketuhanan ini masih bertahan sampai sekarang. Data dari kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003 mencatat masih ada kepercayaan asli Meskipun kini kepercayaan asli Indonesia hanya dianut oleh minoritas warga Indonesia.

Oleh karena itu saya berpendapat bahwa keberagaman konsepsi tuhan itu tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa konsep ketuhanan seluruh agama di Indonesia adalah ‘yang maha esa’. Konsepsi tersebut hanya berlaku untuk sebagian kepercayaan saja, bukan keseluruhan.

Lagipula sila “ketuhanan yang maha esa” tidak bisa diresapi hanya dengan mengambil sebagian kata seperti hanya meyakini ‘ketuhanan’ atau ‘yang maha esa’ saja. Hal itu dapat mencederai keyakinan pada pancasila itu sendiri ataupun keyakinan terhadap ‘ketuhanan’. Bahkan ada beberapa golongan di Indonesia yang tidak meyakini adanya tuhan. Akan terasa sangat membingungkan untuk meresapi pancasila ke dalam hati jika substansi ketuhanan yang ada hanya dipatok pada keesaannya. Seandainya saja kita menganut konsep tuhan yang tidak esa, bagaimana bisa kita dapat meyakini kebenaran pancasila sebagai falsafah yang benar-benar ada dari, oleh dan untuk bangsa?

Mungkin sebagai seorang yang awam atas suatu falsafah kenegaraan, saya belum memenuhi kompetensi untuk emgkritisi hal ini. Tetapi kritik yang saya utarakan ini memakai pendekatan peresapan dari hati. Melalui pendekatan tersebut saya berkesimpulan kalau ini adalah hal yang salah. Pancasila sebagai norma dasar haruslah mempunyai keselarasan antara arti redaksi dengan makna sebenarnya. Saya kira perbedaan ‘ketuhanan yang maha esa’ dengan ‘ketuhanan yang berkebudayaan’ adalah jelas. Bagi saya ‘ketuhanan yang maha esa’ adalah menjalani kehidupan dengan dasar nilai-nilai ketuhanan yang bersifat esa. Sedangkan ‘ketuhanan yang berkebudayaan’ adalah membudayakan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari. Terbebas dari bagaimana konsep tuhan yang bisa saja diyakini secara berbeda oleh setiap penganut keyakinan tertentu di Indonesia.

Saya berpendapat bahwa perubahan redaksi pada sila pertama adalah perlu. Kalimat ‘Ketuhanan yang berkebudayaan’ adalah kalimat yang relevan untuk dipakai untuk membingkai empat sila pancasila lainnya. Kalimat tersebut relevan dengan fakta bahwa sampai saat ini tidak semua agama di Indonesia menganut konsep ketuhanan yang maha esa. Frasa ‘yang maha esa’ menjadi arti yang sangat sempit karena bisa berpotensi menisbikan kemajemukan agama yang sudah ada di Indonesia. Sedangkan Kalimat ‘ketuhanan yang berkebudayaan’ juga dapat menjadi fasilitas dasar yang sangat dipakai untuk mengembangkan demokrasi karena tidak bergantung pada salah satu sifat ketuhanan, melainkan nilai-nilai. ketuhanan itu sendiri dan pengakuan keberagaman keyakinan yang ada di negeri ini melalui toleransi.

Menuju Negeri Tanpa Diskriminasi
Menurut saya ini adalah akar dari permasalahan mengapa begitu banyak diskriminasi terhadap pemeluk keyakinan yang minoritas di negara ini. Orang-orang boleh bebas memeluk kepercayaan dijamin oleh negara hanya ketika ia memeluk agama mayoritas. Hal ini terbukti dari pengakuan 6 agama saja di Indonesia yakni Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Buddha, Hindu dan Kong Hu Cu.

Pengakuan ini berimbas pada banyak hal, salah satunya adalah data kependudukan. Warga pemeluk agama minoritas selain yang diakui negara dipaksa mencatut agama yang tidak diyakininya jika ingin memperoleh KTP. Inikah semangat ketuhanan yang toleran yang ada dalam sila pertama pancasila?
Merupakan langkah yang sangat tepat apabila perubahan redaksi sila pancasila diberlakukan. Perubahan redaksi ini bukanlah menghilangkan makna dan semangat yang terkandung di dalamnya melainkan hanya sekedar perubahan frasa dari ‘yang maha esa’ menjadi ‘yang berkebudayaan’. Jiwa untuk menghayati konsep ketuhanan yang benar-benar khas Indonesia adalah tidak melulu yang esa tetapi seperti apa yang dikatakan oleh Soekarno, ketuhanan yang berkebudayaan. Perubahan redaksi ini tidak mengakibatkan bubar atau runtuhnya suatu negara karena perubahan tersebut dilandasi oleh penghayatan nilai ketuhanan yang telah ada jauh sebelum republik ini berdiri.

Sebaliknya apabila tidak dilakukan perubahan akan terjadi penyimpangan nilai luhur yang terkandung secara maknawi dalam sila pertama pancasila karena kesalahan penafsiran. Artinya, diskriminasi keyakinan ketuhanan yang ada selama ini seakan selaras dengan pancasila.
Oleh karena itu perubahan ini menurut saya menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan untuk menciptakan Indonesia, negara yang berlandaskan ketuhanan meski berada dalam konsepsi yang berbeda. Perbedaan tersebut bukanlah bersifat serang-menyerang, caci maki atapun ragam diskriminasi. Namun perbedaan tersbut didasari oleh toleransi sehingga akhirnya berujung pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmoni.

Naskah Terbaik Kelima Kompetisi Esai Mahasiswa “Menjadi Indonesia” 2012 
Oleh: Robbi Irfani Maqoma, Fakultas Hukum Universitas Indonesia