Tuesday, April 9, 2013

Presiden SBY Segera Aktif Twitter-an

Ciutan di Twitter merupakan tak lepas dari perhatian presiden yudhoyono. Takbanyak di ketahui publik SBY mengamati aktivitas di media sosial itu " saya memantau Twitter" kata sby kepada Tempo.

Apakah sang Presiden punya akun Twitter sendiri? Saat ini belum. Tapi, kata dia, “Soon, barangkali bulan depan.”

Media sosial Twitter banyak digunakan para tokoh politik untuk menyampaikan ide-idenya secara langsung. Presiden Amerika Serikat Barack Obama aktif di Twitter sejak 6 Maret 2007. Sampai hari ini, dia sudah punya 29.488.178 pengikut.

Wakil Presiden RI Boediono juga memiliki akun resmi di Twitter. Boediono terdaftar sejak 1 Juni 2009. Kepada Tempo, Boediono pernah mengatakan, akun itu dikelola oleh anggota stafnya. Namun, setiap cuitan diunggah atas persetujuannya.


Sumber :Tempo.co


Para Pengungkap Kecurangan UN Itu Kini Berjuang Sendiri

"Saya dimarahi dan dimusuhi teman-teman di sekolah. Kata teman-teman, guru-guru jadi kena masalah gara-gara saya. Padahal, saya cuma bicara jujur. Kata ayah dan bunda, kita harus selalu jujur."

Demikian dikatakan Muhammad Abrary Pulungan (14) seusai pemutaran video dokumenter kolaborasi "Temani Aku Bunda" dan diskusi "UN untuk Apa?", Sabtu (6/4/2013) lalu, di XXI Epicentrum, Jakarta. Video dokumenter berdurasi 77 menit yang dibuat selama lebih dari satu tahun itu berkisah tentang pengalaman Abrar yang pernah melaporkan kecurangan ujian nasional (UN) di sekolahnya, SD Negeri 06 Petang, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, dua tahun lalu atau tepatnya Mei 2011.

Pengalaman buruk dan traumatik bagi Abrar itu berawal ketika dua hari sebelum UN ia dan beberapa temannya disuruh oleh salah satu gurunya membuat kesepakatan saling membantu memberikan jawaban soal saat ujian. Dalam kesepakatan tertulis itu, para siswa dilarang memberi tahu siapa pun, termasuk orangtua.

Pada saat ujian, Abrar gelisah saat teman-temannya bebas bertukar jawaban, padahal ada pengawas yang sedang bertugas. "Kita disuruh merahasiakan dari orangtua atau saudara sampai dewasa," kata Abrar di dalam film dengan produser Yayasan Kampung Halaman dan sutradara Tedika Puri Amanda serta Irma Winda Lubis (ibu dari Abrar) itu.

Setelah ujian dan sesampainya di rumah, Abrar tidak tahan dan mengadu ke ibunya sambil menangis.

Mendengar cerita anaknya, Winda pun berang dan meminta sekolah mengakui dan meminta maaf ke publik. Seluruh proses perjalanan Winda mencari kebenaran dan keadilan bagi Abrar tak kunjung berbuah sampai hari ini. Pemerintah daerah melalui dinas pendidikan telah membentuk tim investigasi, tetapi hasilnya nihil.

Keluarga Abrar pun ke sana kemari mengadu ke berbagai lembaga bantuan hukum dan berbagai organisasi pejuang hak anak untuk meminta perlindungan, tetapi sampai kini tanpa kabar.
Segala macam bukti telah diserahkan, termasuk rekaman suara pengakuan guru Abrar kepada orangtua Abrar. Di dalam film terdengar jelas suara guru Abrar yang mengaku meminta para siswa untuk berlaku tidak jujur. Alasannya, ia hanya ingin membantu siswa dan orang tua agar lulus UN.

"Abrar dibilang gurunya kalau ia hanya terlalu sensitif dan kita harus ikut arus orang lain," kata Winda.
Meski perjuangan terasa tanpa ujung, Winda dan suaminya tidak patah arang. Apalagi karena Abrar pun meminta kedua orangtuanya, terutama ibunya, untuk tidak menyerah dan tetap berjuang. "Saya tidak mau ada siswa bodoh dapat nilai bagus. Kalau pemimpinnya orang bodoh, nanti Indonesia bisa roboh," kata Abrar dalam sesi diskusi.

Diusir warga
Kasus serupa pada tahun yang sama juga dialami Alif (14), siswa yang melaporkan kecurangan UN di sekolahnya, SD Negeri Gadel 2, Tandes, Surabaya. Alif juga diminta guru memberikan jawaban soal UN kepada temannya yang tidak tahu

Kasus ini ramai diperbincangkan hingga keluarga Siami (ibu Alif) diusir warga dari rumahnya karena tidak suka dengan kejujuran Alif. Alif dan keluarganya pun dituding sok jujur oleh guru, orangtua siswa lain, hingga masyarakat sekitar tempat tinggalnya.

"Kami mendidik Alif untuk selalu jujur dan percaya dengan kemampuan sendiri. Tetapi, di sekolah ia malah diajari tidak jujur. Saya dihujat masyarakat dan dianggap sok pahlawan," kata Siami yang datang ke pemutaran film tanpa Alif.

Bagi orangtua siswa lain dan masyarakat setempat, kata Siami, berbagi jawaban soal ujian sudah hal yang lumrah wajar. Guru yang meminta Alif berbagi jawaban itu pun justru dianggap oleh masyarakat hanya berkeinginan membantu siswa agar lulus UN.

Bagi Siami, hal ini tidak bisa dibiarkan dan ia harus bertindak. "Kalau saya diam saja dan tidak berjuang, nanti saya tidak bisa kasih contoh baik ke anak saya," ujarnya.

Sayangnya, seperti halnya Winda, Siami kini juga berjuang sendiri. Setelah satu tahun kasus Alif berlalu, semua dukungan dan bantuan menguap entah ke mana. Padahal, Siami merasa Alif masih membutuhkan bantuan, terutama pendampingan psikologis."Yang penting anak saya punya teladan orang dewasa yang berlaku jujur," ujarnya.

Psikolog anak Silmi Kamilah Risman berharap orangtua selalu menanamkan nilai-nilai kejujuran pada anak sejak dini di rumah karena anak sudah mulai mengikuti contoh-contoh yang ada di masyarakat. Orangtua harus tetap kritis meski harus menentang arus."Suara-suara yang kritis itu seperti suara sumbang dalam tim koor yang kompak," ujarnya.


Sumber :Kompas



SASTRA MADURA DAN KEKERASAN

Sastra Madura yang penuh dengan pesan, kesan, kritik dan ajaran-ajaran sempat lenyap dari permukaan , di masa lampau sastra lisan madura sangat diminati oleh masyarakat dari kalangan grass root (rakyat jelata) sampai kalangan elit (kraton), karena dengan sastra tersebut rakyat madura dapat mengeskpresiankan diri, menyampaikan pesan moral,gejolak hati, ajaran agama. Orang Madura yang terkenal keras menghadapi hidup, maju menentang arus, masih sempat untuk mendendangkan sastra –sastra, dengan kondisi geokrafis yang panas, ombak lautan yang garang, maka sastra-satranya penuh dengan motifasi, pesan ajaran yang ketat.

Di antara sastra Madura yang sangat di gemari antara lain, dongeng, lok-olok, syi’ir, tembang, puisi mainan anak-anak.

Dungeng madure adalah cerita atau kisah yang di ambil dari cerita-cerita rakyat madura, yang mengandung beberapa pesan, dan harapan. Dongeng ini sering di dendangkan dalam pengajian, perkumpulan-perkumpulan. Sehingga hal tersebut di anggap primer dalam menumbuhkan kembangkan tradisi-tradisi yang ada dipulau madura. Dan dongeng tersebut merupakan cermin kehidupan pada masa lampau. Sedangkan Syi’ir merupakan untaian kata-kata indah, dengan susunan kalimat-kalimat yang terpadu. Biasanya syi’ir ini di baca di pesantren-pesanten, majlis ta’lim, dan walimatul urs. 

Tembeng tidak jauh berbeda dengan syi’ir, biasanya tembang di baca ketika punya hajat atau akan mengawinkan anaknya, yang di baca oleh dua orang atau lebih sepanjang malam.


Sastra Madura yang akhir-akhir ini, disinyalir semakin melemah karena publik kurang memperhatikan sebagai mana diungkapkan oleh Prof Dr Suripan sadi Hotomo “Sastra Madura (modern) telah mati, sebab sastra ini tak lagi mempunyai majalah BM (Berbahasa Madura-Red). Buku-buku BM pun tak laku jual. Dan, sastra Madura tak lagi mempunyai kader-kader penulis muda, sebab yang muda-muda umumnya menulis dalam bahasa Indonesia” Meskipun demikian dewasa ini sedikit, bahkan dapat dikatakan tidak ada, yang berminat menulis sastra dalam bahasa Madura. Bahkan tokoh-tokoh sastrawan Madura, seperti Abdul Hadi WM, Moh. Fudoli, dan lain-lain lebih suka menulis dalam bahasa Indonesia. 

Sedangkan nama-nama penerjemah sastra Madura yang terkenal seperti SP Sastramihardja, R.Sosrodanoekoesoemo, R. Wongsosewojo kini telah tiada dan belum ada penggantinya. Mungkin hal ini merupakan sebuah proses sastra Madura sedang mengindonesiakan diri. Namun, meskipun demikian sastra Madura tidaklah lenyap dari peredaran tampa menyisakan bekas sedikitpun.

Meskipun ada pendapat modern yang menyatakan bahwa sastra tidak harus menjadi cermin masyarakat, tidak dapat di buat rujukan terhadap fenomena yang berkembang dalam masyarkat tersebut, dan juga sastra bukanlah merupakan gambaran dari kehidupan yang ada pada masyarkat tersebut, namun berbeda dengan sastra Madura yang justru menjadi 

cermin dari kesanggupan menghadapi kehidupan; alam yang keras, panas yang menyengat, lautan yang garang, dan berbatu cadas, disinilah sastra Madura menjadi cermin kehidupan di samping sikap terhadap Tuhan yang menciptakan alam semesta.

Selama ini orang Madura yang terkenal dengan kekerasaanya, baik watak, sikap, kemauan, berpendapat, dan segala bentuk kekerasan ditujukan pada orang Madura. Sehingga image tentang Madura dihadapan publik buruk dan jauh dari sikap santun dan damai. Sastra Madura dalam hal ini sangat memberikan kesan dan peran , bahwa anggapan publik selama ini tentang kekerasan yang sering diidentikkan dengan jahat, marah, amoral, kasar, tidak bersahabat tidaklah benar. Kekerasan berbeda dengan keras, keras memang merupakan watak kebanyakan orang Madura, yang memang kondisi cultural dan geografisnya panas, ombak lautan yang garang, gunung-gunung yang terjal, bebatuan yang kokoh, menjadikan watak orang medura keras. Keras dalam hal ini, dalam kemauan, memegang prinsip, aqidah, dan keras terhadap ajaran-ajaran agama. maka sastra-satranya penuh dengan motifasi, pesan ajaran yang ketat, menentang kema’siatan, keras terhadap musuh-musuh yang mencoba menghancurkan aqidahnya. Sastra Madura (syair) , yang kebanyakan lewat pesatren dapat membuktikan bahwa isi dan kandunganya mengadung ajaran yang ketat.

Sosok Zawawi dengan celurit emasnya, mampu mengubah persepsi di hadapan publik bahwa celurit sebagai alat pembunuh menjadi alat yang bermamfaat bagi kehidupan orang Madura, yang memang menjadi ciri khas orang Madura.

Yang jelas Sastra Madura mampu meluluhkan hati dan gejolak masyarakat Madura, dan menghilangkan kesan terhadap anggapan-anggapan bahwa orang Madura kasar, jahat dan amoral. Sastra yang selalu diindentikan dengan halus, indah maka demikian juga sastra Madura yang penuh dengan mutiara-mutiara kata, rangkain kalimat yang indah dan penuh dengan nuansa regilius.

Potena mata tak bisa ngobe karep

Biruna omba’ abernai kasab
Pangeran mareksane ngolapah ateh
Gelinah betoh, tebeleh bumi tak kobesa
Ngobe ngagelinah Pangeran



Halimi Zuhdi LS, Peneliti sastra, cerpenis dan Mahasiswa Pasca Sarjana PBA UIN Malang, Alumni Fakultas Humaniora Budaya, Jurusan sastra Arab UIN Malang, dan kini Ketua Linguistic and literature Malang

Sumber: Penulislepas.com

Dialog Antartradisi, Ziarah Indonesia

Ada tiga tradisi yang membuat seseorang mengembangkan dirinya dalam kebudayaan. Pertama, tradisi lisan. Ketika tuturan dan wacana serta yang umumnya disebut diskursus menjadi tempat berekspresi, disitulah orang menyusun pengetahuan dan menghayati norma atau nilai dalam etos ataupun estetika. Tradisi adalah ruang budaya dimana ia merupakan rahim tempat belajar hidup, bersikap dan memaknai realitas dari warisan yang diterima dalam pepatah, gurindam, peribahasa dan seni-seni bernafaskan ajaran hidup baik dan hidup bahagia. Tradisi lisan merupakan ruang ekspresi lisan dan wacana sebelum ditulis dalam tradisi tulisan. 

Dengan kata lain, kelisanan merupakan ruang bertutur dari anggota masyarakat yang merawat hidup bermakna sebelum keberaksaraan dituliskan.

Kedua, tradisi tulis adalah tradisi mulai diberaksarakannya dalam simbol alfabetisasi yang dengan abjad menuliskan pengalaman-pengalaman hidup yang ada dalam tradisi lisan untuk dituliskan. Sejarah bahasa tulis merupakan sintesis antara apa yang di sebut oleh Ferdinand de Saussure dalam bahasa formal tertulis yang mengikuti per-syaratan logika keberaksaraan hingga dimengerti sebagai langue misalnya dalam kaidah bahasa Indonesia tulis sebuah kalimat menjadi dimengerti kalau mengikuti aturan logika bahasa tulis S-P-O-K (Subjek–Predikat–Objek–Keterangan).

Tradisi tulisan disebut oleh Wolter J. Ong sebagai keberaksaraan yang disepakati pemakai bahasa untuk menuliskan pengalaman menghayati hidup bukan dalam kelisanan dan bukan sebagai diskursus. Apa yang hilang ketika dari tradisi lisan pengalaman hidup ditulis? Roh, suasana dan konteks tak tertuliskan dan tak terbahasakan secara alfabetikal dalam kelisanan tereduksi oleh hukum logika tulis yang dalam semiotika (sistem tanda) mau dikembalikan menjadi terbaca.

Roh Kelisanan dalam Tulisan

Apa yang hilang dari kelisanan ketika dituliskan? Adalah seluruh suasana tuturan dan getar cakapan-cakapan yang tidak terangkum dalam logika bahasa tulis. Pertanyaan kritis disini adalah pada awalnya lebih dahulu terjadi tradisi lisan dengan episteme (jejak pengetahuan yang merupakan pengetahuan lapangan hidup sehari-hari) ataukah tradisi tulisan yang merupakan tempat studi refleksi atas realitas dalam bahasa tulis? Karena itu, Ferdinand de Saussure melanjutkannya dalam wilayah parole yaitu wilayah bahasa cakap-cakap dan lisan sehari-hari, namun bila mau meneliti secara ilmiah refleksi realitas tidak bisa disini, tetapi harus di wilayah langue (bahasa resmi).

Dari dua tradisi lisan dan tulisan, ketika seseorang lahir didalamnya, maka ia tidak hanya sudah berada dalam rahim salah satu tradisi, misalnya lisan, tetapi sekaligus ia mengemban tradisi yang taken for granted dalam dirinya itu untuk dikembangkan dan menjadi tugas kebudayaan dalam membahasakan dan memaknai kenyataan. Disini agar seseorang melanjutkan tradisinya sebagai tugas kebudayaan ada dua syarat yang harus ia penuhi. Syarat pertama ia harus memahami dan hidup dari tradisinya serta mampu menangkap roh-nya. Syarat kedua ia harus mampu mendialogkannya dengan perkembangan tradisi baru dalam dinamika kebudayaan yang ia jumpai.

Dengan kata lain, roh tradisi lisan, dimana misalnya seni adalah mempermuliakan kehidupan dan merayakannya dalam upacara, ritus festival lalu bertemu dengan formalisasi keharusan penulisan secara logis, rasional, sistematis, disana: roh kelisanan yang memuliakan hidup harus tetap menemukan perayaannya dalam keberaksaraan tradisi tulisan. Sebab, formalisasi tulisan atau teks tertulis itu berciri membakukan, namun mudah membekukan apa-apa yang festival dan makna perayaan tak tertulis dari pengalaman menghayati kehidupan.

Proses Ziarah Indonesia dan Pasca-Indonesia

Bagaimana ikhtiar mengambil roh tradisi lisan? Dengan hidup didalamnya, merayakan dan menyerap melalui para local genius: kearifan-kearifan budaya setempat; dengan mendeskripsi apa yang benar-benar hidup dan sedang dihidupi oleh budaya tradisi lisan serta dari dalam (intrinsik) berusaha membaca makna di balik tanda; renung arti di balik penanda dan nyanyi-nyanyi kebijaksanaan hidup. Di balik dongeng-dongeng lisan, pantun, hikayat kebijaksanaan serta rupa-rupa ajaran harmoni alam, harmoni langit dan harmoni antar sesama. Tradisi kelisanan disini amat muncul dalam religi bumi yang memuliakan kehidupan tanah dan air dimana manusia mendapatkan hidupnya dari bumi, maka ia tidak akan memperkosanya dan menghancurkannya. Sementara itu religi langit lebih menggantungkan pujian syukur atas kehidupan pada yang di LANGIT, sehingga ekspresi hormat pada bumi kadang dikalahkan pada yang vertikal.

Dalam dialog antara tradisi lisan dan tulisan, bila salah satu tradisi belum dipahami oleh yang bersangkutan sebagai rahim budayanya kemudian ia dihadapkan pada tradisi berikutnya, akankah terjadi hibriditas atau wajah indo dalam pembatinan rahim tradisi? Lebih tajam lagi, apabila seseorang belum meminum dari sumur-sumur tradisinya, apakah ia akan meloncat dalam keadaan terpecah ke dalam tradisi mutakhir yang menerpanya: tradisi kelisanan kedua atau secondary orality dalam budaya media tv dan talkshow?
Jawaban pertama, dari mazhab kehidupan harus menegaskan pentingnya akar atau oasis tradisi seseorang untuk identitasnya. Jawaban kedua, dari mazhab bahwa seseorang langsung berziarah sejak ia dilahirkan dalam tradisinya apa pun isinya, tidak usah mencari-cari akar, namun bertitik tolak dari eksistensinya ia berhak terus melanjutkan proses budayanya semisal seseorang yang lahir sekaligus dengan campuran kebatakan, kejawaan dan keindonesiaan di Jakarta, tidak harus ia menyelami tiga tingkatan tradisi bahasa Jawa halus dan tidak harus tahu bahasa Jawa, namun yang penting adalah proses ziarah Indonesia dan pasca-Indonesia. Dengan demikian ruang dialog antar tradisi bisa sekaligus dilakukan bertahap dan serentak antara kelisanan dan tulisan, antara kejawaan dan keindonesiaan, antara tradisi lisan dengan tulisan dan yang paling akhir dengan budaya visual.

PENULIS : Mudji Sutrisno, budayawan

Sumber : KOMPAS

KORUPSI

Sepertinya semua orang pernah berbohong dan sebagian besar orang pernah melakukan korupsi kecil-kecilan. Menggunakan sarana kantor untuk keperluan sendiri, bolos kerja, membeli buku untuk pribadi dengan uang lembaga, itu sebenarnya korupsi juga. Namun, korupsi berkelompok, besar-besaran, sangat terorganisasi, direkayasa dan ditutupi bersama—sesuatu yang beberapa waktu terakhir terus diberitakan media—merupakan sesuatu yang sangat sulit dibayangkan oleh sebagian besar masyarakat awam. Bias persepsi.

Dalam psikologi manusia, ada beberapa proses yang cenderung membuat kita mengambil penyimpulan yang ”bias”. Ini akan sekaligus menghalangi kita untuk memperoleh pengetahuan yang ”sebenar-benarnya” dan lebih lanjut lagi menghalangi kita melakukan langkah yang setepat-tepatnya demi mencegah atau menanggulangi hal buruk.
Sesungguhnya ini adalah proses yang alamiah saja sebagai suatu cara untuk mempermudah manusia memahami dunia dan menciptakan harmoni dengan dunia sosialnya. Namun, bila dibiarkan begitu saja, jelas akan sangat menyulitkan pemberantasan korupsi.
Yang kita kenal dan dekat dengan kita (kecuali tampilan luarnya terlalu negatif atau kita pernah punya pengalaman buruk dengannya) akan cenderung kita nilai lebih positif. Orang yang dari permukaan terlihat baik (misalnya sopan, ganteng atau cantik, perlente, berposisi meyakinkan, bersikap menyenangkan) juga lebih sulit dipercaya melakukan hal buruk daripada orang yang tampilan luarnya terkesan negatif.
Orang yang berkuasa pada akhirnya juga sering dapat mengendalikan wacana. Maksudnya, di awal bisa saja kita mencurigai seseorang atau suatu kelompok melakukan hal buruk tertentu. Namun, yang berkuasa cenderung memiliki akses ke banyak posisi penting, pandai berstrategi, luwes mengambil langkah, tidak selalu melalui uang ataupun ancaman eksplisit untuk dapat memengaruhi dan mengubah wacana publik.
Kadang pendekatan yang sangat simpatik lebih ”powerful” daripada ancaman dan kata-kata kasar. Maka, ketika ada orang dekat atau yang terkesan positif diberitakan melakukan kekerasan seksual atau korupsi, cukup sering kita terkejut dan tidak percaya.
Eufemisme
Eufemisme menunjuk pada penggunaan istilah yang lebih halus untuk menggantikan ungkapan yang dirasa kasar atau dikhawatirkan menyinggung perasaan. Ini sebenarnya juga suatu tindakan yang netral saja atau malahan positif untuk menghindari pelabelan negatif, memelihara harmoni sosial, atau menciptakan pemahaman lebih positif. Psikolog yang melakukan konseling sering menggunakan istilah-istilah yang lebih berkesan positif untuk memberdayakan kliennya.
Misalnya, daripada mengatakan: ”orangtuamu telah melakukan kekerasan padamu sehingga kamu menjadi seorang pemarah dan pendendam”, kita mungkin menggunakan frase: ”orangtuamu telah berlaku kurang baik padamu dan itu menyebabkan luka batin yang dalam”. Tujuannya agar klien merasa dimengerti sekaligus diarahkan untuk bersikap positif dan konstruktif bagi hidupnya sendiri, tidak terpaku pada sikap negatif dan dendam pada orangtua.
Sayangnya dalam masyarakat kita eufemisme digunakan berlebihan sehingga kita sulit melakukan diferensiasi dengan obyektif dan tajam, tidak mampu lagi membedakan mana yang baik atau buruk, atau malahan sengaja terus melanggengkan perilaku tidak etis.
Korupsi kehilangan kesalahan etisnya dalam istilah ”komisi”, ”uang jasa”, ”tanda terima kasih”, ”biaya administrasi”, ”mismanajemen”, dan entah apalagi. Kita tidak mampu bersikap kritis karena semua jadi terkesan ”baik”, ”positif”, atau bila pun kurang baik tidaklah demikian buruk sehingga tidak memerlukan tindakan segera untuk ditangani.
Misalnya, menyebut masyarakat miskin sebagai masyarakat ”prasejahtera” cenderung membutakan para pengambil kebijakan bahwa meski ekonomi makro Indonesia membaik, masyarakat yang riil harus bertahan hidup dalam kemiskinan sungguh sangat memprihatinkan kondisi hidupnya. Jadi, tidak diperlukan program yang sangat tepat untuk menanggulanginya. Apalagi bila indikator kemiskinan ditetapkan sangat rendah, yang menyebabkan orang yang kenyataannya tidak dapat menyekolahkan anak dan sulit makan tiga kali sehari masih belum digolongkan miskin.
Mencegah korupsi
Eufemisme berlebihan menghalangi kita memahami esensi perbedaan baik-buruk dan benar-salah. Kita meminimalkan derajat kesalahan dari tindakan buruk yang dilakukan orang lain maupun diri sendiri. Kita menggunakan istilah dan pemaknaan baru atas tindakan buruk yang ada demi menciptakan harmoni dengan diri sendiri dan lingkungan.
Maka, bisa dimengerti bahwa cukup banyak pelaku korupsi, khususnya di Indonesia, baik yang telah tertangkap maupun tidak, sepertinya tidak merasa malu ataupun disonan tentang dirinya sendiri. Mereka baik-baik saja secara psikologis, hidup bahagia, menjalankan ritual agama masing-masing seperti biasa, terus melakukan korupsi dengan berbagai alasannya, dan di depan publik mengumumkan tanpa beban bahwa dirinya dan organisasinya bersih korupsi.
Pencegahan korupsi perlu dilakukan sangat komprehensif, dari berbagai arah, secara serentak dan konsisten, serta sejak sedini mungkin. Pendidikan antikorupsi yang utuh, selain mengandung telaah berbagai disiplin lain, perlu melibatkan komponen psikologi yang cukup besar. Kejujuran, moralitas, kebaikan, nilai benar-salah, dan tanggung jawab sosial perlu ditelaah dalam konteks berbeda-beda agar anak sedini mungkin paham situasi ideal dan situasi riil yang sering berbeda dengan yang ideal, tetapi tetap mampu memisahkan dengan tajam mana yang pada dasarnya salah maupun benar. Kasus-kasus nyata sehari-hari dari yang sederhana hingga yang kompleks perlu didiskusikan.
Misalnya, mencontek itu, dengan alasan apa pun, tetap merupakan tindakan yang salah. Menolong teman mencuri barang karena sangat butuh uang tetap hal buruk. Sangat berbahaya bila yang mengucapkan slogan antikorupsi malah sangat piawai melakukannya. Pemberantasan korupsi menjadi pekerjaan rumah luar biasa besar bagi kita semua.


Kristi Poerwandari
sumber: http://cetak.kompas.com