Tuesday, April 9, 2013

Dialog Antartradisi, Ziarah Indonesia

Ada tiga tradisi yang membuat seseorang mengembangkan dirinya dalam kebudayaan. Pertama, tradisi lisan. Ketika tuturan dan wacana serta yang umumnya disebut diskursus menjadi tempat berekspresi, disitulah orang menyusun pengetahuan dan menghayati norma atau nilai dalam etos ataupun estetika. Tradisi adalah ruang budaya dimana ia merupakan rahim tempat belajar hidup, bersikap dan memaknai realitas dari warisan yang diterima dalam pepatah, gurindam, peribahasa dan seni-seni bernafaskan ajaran hidup baik dan hidup bahagia. Tradisi lisan merupakan ruang ekspresi lisan dan wacana sebelum ditulis dalam tradisi tulisan. 

Dengan kata lain, kelisanan merupakan ruang bertutur dari anggota masyarakat yang merawat hidup bermakna sebelum keberaksaraan dituliskan.

Kedua, tradisi tulis adalah tradisi mulai diberaksarakannya dalam simbol alfabetisasi yang dengan abjad menuliskan pengalaman-pengalaman hidup yang ada dalam tradisi lisan untuk dituliskan. Sejarah bahasa tulis merupakan sintesis antara apa yang di sebut oleh Ferdinand de Saussure dalam bahasa formal tertulis yang mengikuti per-syaratan logika keberaksaraan hingga dimengerti sebagai langue misalnya dalam kaidah bahasa Indonesia tulis sebuah kalimat menjadi dimengerti kalau mengikuti aturan logika bahasa tulis S-P-O-K (Subjek–Predikat–Objek–Keterangan).

Tradisi tulisan disebut oleh Wolter J. Ong sebagai keberaksaraan yang disepakati pemakai bahasa untuk menuliskan pengalaman menghayati hidup bukan dalam kelisanan dan bukan sebagai diskursus. Apa yang hilang ketika dari tradisi lisan pengalaman hidup ditulis? Roh, suasana dan konteks tak tertuliskan dan tak terbahasakan secara alfabetikal dalam kelisanan tereduksi oleh hukum logika tulis yang dalam semiotika (sistem tanda) mau dikembalikan menjadi terbaca.

Roh Kelisanan dalam Tulisan

Apa yang hilang dari kelisanan ketika dituliskan? Adalah seluruh suasana tuturan dan getar cakapan-cakapan yang tidak terangkum dalam logika bahasa tulis. Pertanyaan kritis disini adalah pada awalnya lebih dahulu terjadi tradisi lisan dengan episteme (jejak pengetahuan yang merupakan pengetahuan lapangan hidup sehari-hari) ataukah tradisi tulisan yang merupakan tempat studi refleksi atas realitas dalam bahasa tulis? Karena itu, Ferdinand de Saussure melanjutkannya dalam wilayah parole yaitu wilayah bahasa cakap-cakap dan lisan sehari-hari, namun bila mau meneliti secara ilmiah refleksi realitas tidak bisa disini, tetapi harus di wilayah langue (bahasa resmi).

Dari dua tradisi lisan dan tulisan, ketika seseorang lahir didalamnya, maka ia tidak hanya sudah berada dalam rahim salah satu tradisi, misalnya lisan, tetapi sekaligus ia mengemban tradisi yang taken for granted dalam dirinya itu untuk dikembangkan dan menjadi tugas kebudayaan dalam membahasakan dan memaknai kenyataan. Disini agar seseorang melanjutkan tradisinya sebagai tugas kebudayaan ada dua syarat yang harus ia penuhi. Syarat pertama ia harus memahami dan hidup dari tradisinya serta mampu menangkap roh-nya. Syarat kedua ia harus mampu mendialogkannya dengan perkembangan tradisi baru dalam dinamika kebudayaan yang ia jumpai.

Dengan kata lain, roh tradisi lisan, dimana misalnya seni adalah mempermuliakan kehidupan dan merayakannya dalam upacara, ritus festival lalu bertemu dengan formalisasi keharusan penulisan secara logis, rasional, sistematis, disana: roh kelisanan yang memuliakan hidup harus tetap menemukan perayaannya dalam keberaksaraan tradisi tulisan. Sebab, formalisasi tulisan atau teks tertulis itu berciri membakukan, namun mudah membekukan apa-apa yang festival dan makna perayaan tak tertulis dari pengalaman menghayati kehidupan.

Proses Ziarah Indonesia dan Pasca-Indonesia

Bagaimana ikhtiar mengambil roh tradisi lisan? Dengan hidup didalamnya, merayakan dan menyerap melalui para local genius: kearifan-kearifan budaya setempat; dengan mendeskripsi apa yang benar-benar hidup dan sedang dihidupi oleh budaya tradisi lisan serta dari dalam (intrinsik) berusaha membaca makna di balik tanda; renung arti di balik penanda dan nyanyi-nyanyi kebijaksanaan hidup. Di balik dongeng-dongeng lisan, pantun, hikayat kebijaksanaan serta rupa-rupa ajaran harmoni alam, harmoni langit dan harmoni antar sesama. Tradisi kelisanan disini amat muncul dalam religi bumi yang memuliakan kehidupan tanah dan air dimana manusia mendapatkan hidupnya dari bumi, maka ia tidak akan memperkosanya dan menghancurkannya. Sementara itu religi langit lebih menggantungkan pujian syukur atas kehidupan pada yang di LANGIT, sehingga ekspresi hormat pada bumi kadang dikalahkan pada yang vertikal.

Dalam dialog antara tradisi lisan dan tulisan, bila salah satu tradisi belum dipahami oleh yang bersangkutan sebagai rahim budayanya kemudian ia dihadapkan pada tradisi berikutnya, akankah terjadi hibriditas atau wajah indo dalam pembatinan rahim tradisi? Lebih tajam lagi, apabila seseorang belum meminum dari sumur-sumur tradisinya, apakah ia akan meloncat dalam keadaan terpecah ke dalam tradisi mutakhir yang menerpanya: tradisi kelisanan kedua atau secondary orality dalam budaya media tv dan talkshow?
Jawaban pertama, dari mazhab kehidupan harus menegaskan pentingnya akar atau oasis tradisi seseorang untuk identitasnya. Jawaban kedua, dari mazhab bahwa seseorang langsung berziarah sejak ia dilahirkan dalam tradisinya apa pun isinya, tidak usah mencari-cari akar, namun bertitik tolak dari eksistensinya ia berhak terus melanjutkan proses budayanya semisal seseorang yang lahir sekaligus dengan campuran kebatakan, kejawaan dan keindonesiaan di Jakarta, tidak harus ia menyelami tiga tingkatan tradisi bahasa Jawa halus dan tidak harus tahu bahasa Jawa, namun yang penting adalah proses ziarah Indonesia dan pasca-Indonesia. Dengan demikian ruang dialog antar tradisi bisa sekaligus dilakukan bertahap dan serentak antara kelisanan dan tulisan, antara kejawaan dan keindonesiaan, antara tradisi lisan dengan tulisan dan yang paling akhir dengan budaya visual.

PENULIS : Mudji Sutrisno, budayawan

Sumber : KOMPAS

No comments:

Post a Comment