Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

Saturday, May 11, 2013

Buruh Bukan Budak



http://libcom.org



Sungguh sebuah ironi ngeri yang subur lagi kaya masih terjadi pebudakan. Sebuah tindakan yang tidak manisiawi telah terjadi. Mereka dipekerjakan dengan semena-mena tanpa upah dan gaji. Sebagai manusia tidakkah mereka memiliki otak dan hati hingga tega menyiksa, menyekap, mengintimidasi pekerja seperti para budak pribadi. Kejadian yang menyita banyak perhaian masyarakat sungguh suatu kejadian yang memilukan sekaligus memalukan.

Tidak berselang begitu lama dari May day (hari buruh),ribuan buruh yang turun dijalan-jalan ibu kota menyuarakan aspirasi supaya diperhatikan dengan, upah, dan jaminan kesehatan yang layak, di samping itu terdapat buruh di tanggerang-banten yang ketakutan karena disekap dan di ancam oleh bos nya.Mereka tidak dapat bersuara lantang seperti kawan-kawanya yang turun ke jalan.

Pejabat berwenang jangan beralibi dengan kasus yang menimpa buruh di tanggerang, inilah poteret nyata kelalaian dalam pengawasan . Apalagi kasus penyiksaan buruh tersebut terindikasi ada oknum aparat kepolisian dan TNI berada di belakang bos pemilik pabrik panci di tanggerang tersebut.

Jakarta memang menggoda orang untuk datang mengadu nasib dengan daya tarik sebagai ibu kota yang menyediakan banyak pekerjaan. Namun tidak hanya itu jakarta juga tidak begitu ramah bagi orang kecil yang tidak mampu bersaing di tengah kompetisi warga ibu kota yang semuanya berambisi mengejar mimpi.

Mungin pelakunya telah tertangkap namun apakah korban akan segera pulih dari trauma yang menimpa dirinya. Mungkin butuh waktu bagi mereka untuk menghilangkan trauma atau mereka akan mengalami trauma yang tak kunjung hilang.

Mulai saat ini,cukuplah menjadi pristiwa yang terakhir kasus pengintimidasian, penyiksaan, penyekapan dan perlakuan tidak manusiawi menimpa buruh di tanggerang, karena buruh bukanlah budak. Buruh harus dilindungi. Bukankan mereka punya hak untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak. Saat ini bukan lagi zaman romusha jepang pada masa lalu yang mengekploitasi tenaga kerja indonesia untuk keperluan perang.

Tuesday, April 9, 2013

UANG DAN KEKUASAAN



Tindakan korup adalah tindak kekuasaan. Dan kekuasaan adalah kekuatan. Nenek moyang Indonesia mengenal trilogi tekad, ucap, lampah. Will, Mind, Power. Ketiganya satu.

Huru-hara para pemegang mandat kekuasaan rakyat sekarang ini adalah uang. Tekadnya uang, pikirannya uang, dan kekuasaannya uang. Bukan tekadnya demi rakyat, pikirannya demi rakyat, dan kekuasaannya demi rakyat. Masih lumayan kalau tekad uang demi rakyat, pikiran uang demi rakyat, dan praktik kekuasaan adalah uang demi rakyat. Yang terjadi adalah trilogi uang demi diri sendiri.

Bangsa ini mengaku dirinya religius dan tujuan semua religi, menurut sejarawan Arnold Toynbee, adalah menyisihkan ego manusia serta menebalkan simpati dan empati bagi banyak orang lain. Tidak ada pelaku religi sejati yang hanya memikirkan kepentingan egonya sendiri.

Kenyataannya sekarang ini, setiap pemegang kekuasaan saling membela diri sendiri sebagai bersih sembari menuding yang lain sebagai kotor, dengan seluruh tekad, ucap, dan lampahnya. Pamer kekuasaan dan kebenaran merupakan agenda tiap hari. Rakyat, orang-orang lain itu, dari mana kekuasaan dan kekuatan mereka berasal, cuma dianggap kuburan. Mereka lupa bahwa rakyat juga memiliki will, mind, dan power sendiri.

Kentut Semar
Sejarah hati nurani rakyat, pikiran rakyat, dan kekuatan rakyat di Indonesia telah membuktikan kesabarannya yang luar biasa. Dan setiap kesabaran ada batasnya. Rakyat Indonesia sejak dahulu kala memiliki tradisi sebagai abdi negara, abdi penguasa dalam arti memercayai tekad, ucap, lampah para penguasanya, rakyat ini tak lain adalah penakawan Semar dan anak-anaknya. Namun, kalau ketidakadilan terus-menerus berlangsung di kalangan penguasa, bahkan dewa-dewa, maka tak segan-segan Semar mengamuk naik ke swargaloka. Kalau Semar—rakyat ini—mengamuk, ia akan kentut terus-menerus menebar bau busuk, omongannya kasar, dan matanya rembes berair yang memudarkan pandangan matanya.

Para dewa dan Batara Guru dicaci maki, dimarahi, dinalarkan kembali pikiran mereka yang bengkok. Anehnya para dewa kekuasaan dalam cerita wayang ini tercerahkan dan tunduk kepada Semar yang jabatannya cuman pelayan raja ini. Para dewa wayang ini ternyata lebih intelektual daripada sejarah para penguasa di Indonesia. Alih-alih mereka sadar dan tercerahkan oleh tekad ucap lampah rakyat, justru marah dan membalas kekuatan rakyat ini.

Kisah klasik harta, kuasa, dan wanita di Indonesia tidak pernah berubah. Orang tidak pernah belajar dari sejarah. Dan sejarah kekuasaan di Indonesia selalu berulang. Kemarahan Semar, kemarahan rakyat, selalu jalan terakhir perubahan kekuasaan yang triloginya buruk.

Dari trilogi will, mind, power ini, peran will, tekad, nurani menjadi pangkal semua peristiwa. Kalau kemauan atau kehendaknya baik, pikirannya akan baik, dan perbuatannya juga baik. Perselisihan trilogi kepolisian, kejaksaan, dan KPK bersumber dari tidak adanya kesatuan tekad, kemauan baik bersama, yakni memberantas korupsi. Justru ketiganya saling tuduh melakukan korupsi. Maling teriak maling.

Kemauan yang baik saja tidak cukup kalau tidak diikuti oleh pikiran yang baik. Ketiga lembaga ini memiliki peran yang berbeda-beda dan dengan demikian cara berpikir yang berbeda-beda. Kesatuan cara berpikir adalah perbedaan dalam kesatuan, praktik Bhinneka Tunggal Ika. Ketiganya harus memahami tugas masing-masing untuk dapat menyatu dalam kehendak yang sama: melenyapkan korupsi di Indonesia.

Yang menyatukan bangsa ini adalah tekad yang sama, yakni merdeka dari penjajahan. Dalam tekad yang satu dan fokus ini, setiap perbedaan pikiran dikesampingkan, bukan malah ditonjol-tonjolkan dengan kekuatannya. Hanya sayang, setelah kehendak mereka tercapai, perbedaan pikiran kembali dikobarkan. Akibatnya, terjadi perbuatan yang melibatkan adu kekuatan. Itulah yang terjadi sekarang dalam skala mikro. Pikiran masing-masing dan kebenaran masing-masing dipamerkan di depan publik.

Mereka saling menuntut kebenaran masing-masing. Adu kebenaran dan adu pikiran. Padahal, yang diinginkan rakyat hanyalah kebenaran perbuatan. Dan bagaimana perbuatan, power, pemberantasan korupsi ini bisa terjadi kalau dalam tingkat kehendak, tekad, sudah berbeda yang tecermin dari ucapan pikiran mereka yang berbeda-beda pula.

Suap atau peras
Pokok masalah yang membuat will, mind, power ini terpecah belah adalah uang! Ketiganya saling menuduh terima suap atau memeras. Dan sumber kekacauan ini justru dari kaum petualang, spekulan, di luar mereka. Alangkah bodohnya dewa-dewa kekuasaan kita ini. Mereka saling berantem gara-gara ulah para Togog. Tokoh ini bermulut burung pelikan yang mampu menampung puluhan ikan di mulutnya. Dan dewa-dewa ini saling menuduh berebut beberapa ikan kecil yang meloncat jatuh dari mulut si Togog.

Kembalilah pada tekad perjuangan bangsa ini seratus tahun yang lampau. Pikiran boleh berbeda-beda, kebenaran boleh berbeda-beda, tetapi didasari oleh tekad yang sama. Kehendak mulia inilah yang menyatukan semua perbedaan dalam satu perbuatan yang mulia juga.

Di makam-makam taman pahlawan negeri ini, arwah-arwah pejuang kita senantiasa bertanya, apakah negeri yang mereka bangun ini tetap bersatu dalam tekad? Tekad yang benar, pikiran yang benar, dan perbuatan yang benar.


PENULIS: Jakob Sumardjo, Esais
SUMBER :KOMPAS





SELAMA KORUPSI ADA ,JANGAN HARAP ADA NEGARA

The state is dependent on the virtue of incorruptibility. (Erhard Eppler)


Suatu saat, Paul Tillich, filsuf Amerika kelahiran Jerman, menyatakan, jika tidak ada kekuasaan untuk membuat dan menegakkan hukum, negara juga tidak ada.

Pertanyaannya kemudian adalah masihkah kita berani menyatakan bahwa negara yang disebut Indonesia adalah sebuah negara hukum setelah kita menyaksikan kekisruhan luar biasa antara KPK dan polisi?

Lima alasan
Ada lima alasan mengapa pertanyaan ini dilontarkan.

Pertama, kasus KPK lawan polisi menunjukkan, negara yang disebut Indonesia hanya mampu menghasilkan aneka ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan. Dalam kajian tentang tipe negara, karakter seperti ini membuat Indonesia dapat dikategorikan negara yang lemah.

Negara seperti ini hanya selangkah dan ada di garis batas untuk menjadi negara gagal, yaitu suatu negara di mana berbagai kelompok masyarakat menjalankan hukumnya sendiri dengan cara-cara kekerasan karena sama sekali tidak lagi percaya kepada institusi yang disebut negara. Kasus Rwanda di Afrika adalah contoh yang sering disebut sebagai fenomena negara gagal. Semoga Indonesia tidak sedang mengikuti langkah Rwanda.

Kedua, kasus KPK lawan polisi menunjukkan negara yang disebut Indonesia sedang mengalami demoralisasi dan desakralisasi dalam lembaga-lembaga penegak hukum. Demoralisasi dan desakralisasi itu muncul menjadi sentimen publik yang kuat saat KPK dibentuk pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.

Asumsi yang melandasi pembentukan KPK sejak awal adalah tidak ada satu pun lembaga negara yang tidak terlanda korupsi. Seandainya institusi Polri, kejaksaan, dan kehakiman masih memiliki kredibilitas sebagai lembaga penegak hukum untuk menghadapi korupsi, sebenarnya KPK tidak perlu dibentuk. Namun, pembentukan KPK sejak awal tidak berangkat dari pengandaian ini. Itu sebabnya secara moral publik cenderung memandang KPK memiliki kredibilitas moral yang lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lain.

Lembaga pemolisian
Ketiga, kasus KPK lawan polisi menunjukkan, negara yang disebut dengan Indonesia itu tidak memiliki akar pemikiran yang kuat untuk memahami apa yang disebut dengan lembaga pemolisian. Secara konseptual, pengertian lembaga pemolisian bukanlah dalam pengertian tunggal atau hanya dilakukan polisi.

Polisi hanya salah satu dari lembaga pemolisian. Institusi kehakiman, kejaksaan, dan polisi merupakan bagian dari lembaga pemolisian itu. Justru karena kredibilitas tiga lembaga pemolisian itu begitu rendah, KPK kemudian dibentuk.

Dengan kata lain, KPK sendiri merupakan bagian dari lembaga pemolisian. Karena itu, merupakan suatu sesat pikir yang sangat fatal jika terdapat pandangan yang menyatakan bahwa polisi merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki ranah dalam melakukan pemolisian. Pemikiran seperti ini akan dengan mudah menciptakan kesimpulan bahwa tak ada seorang pun yang dapat mengawasi polisi Indonesia dan polisi adalah sama dengan negara.

Keempat, kasus KPK lawan polisi menunjukkan bahwa negara yang disebut dengan Indonesia itu belum bergeser dari paradigma berpikir ”oknum” dan bukan sistem. Paradigma seperti ini dapat juga disebut dengan paradigma ”siapa yang salah”, bukan paradigma ”apa yang salah”.

Pembentukan tim pencari fakta, seperti pembentukan tim-tim pencari fakta yang telah ada sebelumnya—dalam kasus Semanggi dan Aceh—dianggap selesai saat ditemukan ”siapa” yang bersalah dan tidak melakukan pembenahan secara sistemik untuk bergerak ke arah paradigma ”apa yang salah” melalui aneka pembuatan regulasi yang lebih ketat sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat diminimalkan.

Salah satu akibat yang amat serius dari tanggapan kebijakan seperti ini adalah cita-cita Indonesia sebagai negara hukum itu hanya hadir ”sesaat” ketika suatu tim pencari fakta dibentuk. Setelah itu hilang dan kembali seperti biasa sehingga tidak ada bedanya antara Indonesia ”masa lalu”, Indonesia ”hari ini”, dan Indonesia ”masa depan”.

Masa depan Indonesia telah dipaksa terperangkap oleh ”masa lalu” dan ”hari ini” yang gelap gulita. Cahaya di ujung terowongan hanya muncul sekilas, kemudian Indonesia masuk kembali ke dalam terowongan yang gelap gulita itu.

Belum melindungi warga
Kelima, kasus KPK lawan polisi ini menyampaikan pesan, negara yang disebut Indonesia itu belum dapat menjadi pelindung bagi warganya. Meminjam pemikiran Erhard Eppler (2009), pembentukan negara adalah suatu pembuatan janji suci atau ikrar bahwa setiap orang, khususnya yang lemah, mendapat perlindungan. Janji ini sepertinya kian sirna dari republik ini.

Ironi besar yang muncul dari kasus KPK lawan polisi ini adalah perasaan yang amat tidak berdaya dari pihak yang lemah yang tersimbolkan oleh institusi KPK dan dari adanya kecenderungan bertele-tele, jika bukan inaction, dari pemerintah untuk penyelesaian kasus ini. Jika kecenderungan ini terus berlanjut, publik mungkin bisa mengadu kepada penciptanya dan berdoa ”ya Tuhan lindungilah kami dari pelindung kami”. Jika ini yang tidak dihentikan, kita mungkin akan segera masuk ke dalam situasi negara yang gagal.

Jadi, marilah kita menyelesaikan kasus ini secepatnya. Korupsi memang harus diberantas. Taruhannya bukan soal uang semata. Lebih dari itu, taruhannya adalah negara itu sendiri. Seperti dikutip dalam awal tulisan ini, jangan pernah berharap kita akan tetap memiliki negara jika korupsi terus berlangsung.

Jadi, hilangkanlah pemikiran dan keyakinan bahwa uanglah yang membuat dan menegakkan hukum, dan karena itu pula yang menghadirkan negara. Pandangan seperti ini hanya mendorong para penegak hukum menjadi pedagang hukum.


PENULIS :MAKMUR KELIAT
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

SUMBER : KOMPAS

Kuliah Tanam Padi di Universitas Sawah Baru

“Lapor Pak, hari ini tadi panen pertama.”
”Lho, kok cepat?” jawab saya.
”Kan sudah 102 hari,” jawab Dirut PTSang Hyang Seri (Persero) Dr Upik Rosalina Wasrin.
”Kok saya tidak diundang?” tanya saya lagi.
”Kan baru coba-coba. Tidak sampai lima hektare,” jawab Upik lagi.
”Biarpun hanya lima hektare, kan bersejarah,” kata saya.
”Sebentar lagi kan panen yang lebih luas,” jawab alumnus IPB dan Universitas Paul Sabatier, Toulouse, Prancis, itu.
”Hasilnya berapa ton per hektare?” tanya saya lagi.
”5,25 ton, Pak,” jawabnya.

Begitulah. Sawah baru yang dibuka BUMN di Ketapang, Kalbar, sudah mulai panen. Sekarang pun tiap hari masih panen. Di sawah baru itu tiap hari memang dilakukan penanaman padi sehingga hampir tiap hari juga bisa panen.

Panen pertama ini adalah hasil penanaman yang dilakukan ramai-ramai oleh para direksi BUMN yang secara bersama-sama bertekadall-out membantu peningkatan produksi beras nasional.

Kini, di Ketapang, rata-rata setiap hari dilakukan penanaman padi 15 ha. Sampai minggu ini sudah lebih 500 ha sawah baru tercipta di sana. Sampai akhir Juni nanti sudah harus 1.000 ha. Begitulah terus-menerus dilakukan hingga akhirnya nanti mencapai 100.000 ha.

Banyak sekali suka-duka menciptakan sawah baru di Ketapang ini. Sejak awal, berbagai kesulitan itu memang sudah dibayangkan. Bahkan, Dirut PT SHS saat itu, Kaharuddin, menyatakan produksi pertama sawah baru itu nanti maksimal hanya 4 ton. Memang begitulah teorinya. Maka, ketika hasil panen pertama itu mencapai 5,25 ton, sawah baru ini memberikan hope yang baik.

Panen pertama itu pun dilakukan lima hari lebih cepat daripada seharusnya. Ada gelagat hama ulat grayak akan menyerang. Daripada dipanen ulat, pimpinan SHS di Ketapang, Kusmiyanto, memutuskan segera memanennya. ”Waktu itu berminggu-minggu tidak ada hujan. Sawah mengering. Sungai di dekat situ lagi surut. Maka, muncullah ulat grayak,” ujar Kusmiyanto.

Munculnya hama ulat grayak memang sudah diperkirakan. Lahan yang selama ini dibiarkan tidak ditanami pasti dihuni berbagai renik beserta telurnya. Ketika dibuat sawah, pada dasarnya telur-telur itu masih ada di situ. Hanya, tidak bisa menetas karena tergenang air.
”Begitu berhari-hari tidak ada air, menetaslah,” ujar Kusmiyanto yang alumni Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang itu.

Pengalaman baru yang terbesar dari ”universitas sawah baru” ini adalah dalam menata air. Bulan pertama pembukaan sawah baru seperti tidak ada persoalan. Pembukaan lahannya, pengolahan tanahnya, penanamannya, lancar-lancar saja. Maklum, waktu itu musim hujan.

Begitu tidak ada lagi hujan, ketahuanlah berbagai macam kekurangannya. Tata air untuk perencanaan 500 ha tentu beda dengan untuk perencanaan ribuan hektare. Di sinilah diskusi, solusi, dan action terus dilakukan.

Dari pengalaman bulan pertama dan kedua itulah penyempurnaan dilakukan. Hasilnya terlihat dari kian cepatnya pertambahan pencetakan sawah baru. Bulan pertama, satu hari rata-rata hanya bisa mencetak 7 ha sawah baru. Sekarang pencetakan dengan alat-alat modern itu sudah bisa 15 ha per hari. Tiga bulan lagi direncanakan bisa 50 ha per hari.

Kian lama kian banyak pelajaran yang bisa diambil. Saya sudah minta kepada Kusmiyanto untuk mendokumentasikan semua persoalan yang muncul, jalannya diskusi, dan penyelesaian masalah yang diambil. Semua itu akan menjadi dokumen penting untuk program pencetakan sawah baru di masa depan.

Penerapan berbagai teknologi pun dicoba di Ketapang. Berbagai jenis benih ditanam, diamati, dan dilihat perkembangannya. Demikian juga berbagai macam pupuk. Termasuk pupuk dan benih dari PT Batantekno (Persero) hasil kerja sama dengan Batan dan BPPT. Benih padi Si Genuk yang diradiasi nuklir juga segera dicoba seluas 10 ha di Ketapang. Digabung dengan pupuk cair hasil kerja sama mereka.

Si Genuk sudah dicoba di lahan SHS di Sukamandi, Jawa Barat, dan siap panen minggu ini. Di sini nama benih itu bermutasi menjadi Si Denok. Lahannya bersebelahan dengan lahan benih Ciherang. Secara kasat mata sudah terlihat beda.

Saya melihat perbedaan itu saat meninjaunya. Waktu itu, padinya mulai agak menguning. ’’Yang Si Denok terlihat menggarehal,” ujar seorang staf PT SHS yang hanya bisa menggambarkannya dalam istilah Sunda.

Sawah baru di Ketapang itu direncanakan ditanami padi dua kali setahun. Setelah panen pertama itu, sawah tersebut akan ditanami padi lagi, tapi jenis gogo. Ini mengantisipasi kesulitan air di musim kemarau. Toh, hasilnya juga tidak banyak berbeda. Setelah gogo, barulah lahan akan ditanami jagung.

Sebenarnya, saya minta ditanami kedelai, sekalian untuk ikut mengatasi kekurangan kedelai, tapi tidak ada yang cukup pedemelakukannya. Saya mengalah. Saya tahu kedelai memang jenis tanaman untuk iklim subtropis. Perlu persiapan khusus untuk ditanam di Ketapang.

Fokus pemikiran tim Ketapang saat ini masih bagaimana mencetak sawah baru yang sekalian harus bisa memecahkan segala hambatannya.

Sawah baru ini, kalau berhasil, akan memaksa PT SHS untuk berubah total. Sudah bertahun-tahun BUMN ini tidak memiliki landasan bisnis yang kuat. Bisnis utamanya menyediakan benih, tetapi kemampuan menyediakan benih sendiri tidak sampai 5 persen dari kebutuhan benih nasional.

Akibatnya, SHS harus bekerja sama dengan begitu banyak penangkar benih. Dengan segala permainannya. SHS tidak memiliki margin yang cukup untuk bisa mengembangkan dirinya menjadi tulang punggung penyedia benih unggul nasional. Bahkan, SHS terlibat pola gali lubang-tutup lubang yang lama-lama lebih dalam lubangnya daripada tutupnya.

Kini begitu banyak BUMN yang mendukung SHS menyukseskan pencetakan sawah baru itu. Bukan saja untuk kecukupan pangan nasional, tapi juga untuk masa depan SHS sendiri yang harus kukuh.
PT Pertani (Persero), BUMN bidang pertanian lainnya, juga tidak lebih kuat daripada SHS. Landasan bisnisnya juga rapuh. Gali lubang-tutup lubang, tumpang tindih pula.

Tahun ini PT Pertani baru mulai memiliki dasar bisnis yang nyata: spesialis di bidang pascapanen. Tidak akan tumpang-tindih dengan PT SHS dan Perum Bulog. Bahkan, ketiganya akan bisa bersinergi untuk secara tuntas membantu persoalan petani di segala lini.
Di hulu, BUMN membantu produksi beras melalui program ”yarnen”, bayar kalau sudah panen. Petani yang tidak memiliki kemampuan mengadakan benih unggul dan pupuk dibantu BUMN. Agar hasil panennya lebih besar. Bantuan itu dikembalikan saat panen. Tahun ini program yarnen, bagian dari Gerakan Peningkatan Produksi Pertanian Berbasis Korporasi (GP3K) BUMN, harus mencapai 2,6 juta hektare.

Di hilir, ada Bulog yang menampung seberapa besar pun hasil panen. Tahun lalu Bulog sudah membuktikan diri mampu mencapai prestasi terbaiknya. Tahun ini Dirut Bulog Soetarto Alimuso bertekad untuk lebih baik lagi.

Hulu-hilirnya sudah mulai bergerak. Tapi, tengah-tengahnya masih bolong. Penanganan gabahnnya masih belum mendapat perhatian. Bagaimana petani harus merontokkan gabah, mengeringkan, dan menggilingnya, masih belum ada BUMN yang menerjuninya.
PT Pertani lah yang akan menjadi spesialis di tengah-tengah ini. Caranya: mengadakan mesin-mesin pengering gabah. Syaratnya: mesin itu tidak boleh menggunakan bahan bakar minyak. Tahun ini PT Pertani membangun 100 pabrik pengering dengan bahan bakar sekam padi.

Selama ini, memang sudah banyak mesin pengering gabah di Bulog, tapi semuanya menggunakan solar. Mahalnya bukan main. Akhirnya tragis: nganggur semua! (*)


Dahlan Iskan
Menteri  BUMN


KEMERDEKAAN DAN REFORMASI JILID II



Dirgahayu Republik Indonesia 64 tahun.Dalam usia kemerdekaan yang tidak lagi muda—relatif hampir sama dengan rata-rata usia harapan hidup manusia Indonesia sekarang ini—, sepatutnya kita melakukan retrospeksi dan refleksi.          

Dengan begitu kita dapat menghindarkan diri dari kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi dalam sejarah; dan sebaliknya melangkah lebih pasti menuju Indonesia yang lebih jaya, berharkat, dan bermartabat baik ke dalam maupun ke luar.          

Dalam retrospeksi dan refleksi itu,suatu hal sudah pasti: di tengah berbagai masalah dan agenda      demokratis dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya,baik di era Orde Lama maupun Orde Baru. Hal itu tidak lain berkat Reformasi (jilid I) yang terjadi sejak 1998 yang terbukti menjadi ”gerbang emas”menuju Indonesia yang demokratis.


Indonesia dengan transisi dan konsolidasi demokrasinya yang berjalan secara damai bagi sementara kalangan—khususnya para Indonesianis asing—merupakan salah satu dari “keajaiban Indonesia” (Indonesian miracles). Dengan tingkat keragaman, kesenjangan, dan masalah-masalah lain yang membebaninya, kalangan ini sulit membayangkan bahwa Indonesia bisa survive di tengah perubahan- perubahan yang begitu cepat dan berdampak luas dan panjang sejak bermulanya era Reformasi 1998.

Bahkan, sebaliknya, cukup banyak di antara mereka yang memprediksikan “skenario kiamat” (doomsday scenario) bahwa Indonesia segera mengalami proses “Balkanisasi”—terpecahbelah seperti terkeping-kepingnya wilayah Balkan di Eropa Timur–– begitu demokrasi diperkenalkan. Namun,menghapus segala bentuk skeptisisme itu, Indonesia tidak hanya mampu bertahan, tapi malah sebaliknya terus melangkah dengan transisi dan konsolidasi demokrasinya. 
            
Meski proses-proses demokrasi yang dijalankan Indonesia seperti terlihat dalam pemilu legislatif pada 1999, pemilu legislatif dan pemilu presiden secara langsung 2004 dan 2009 tetap mengandung masalah- masalah tertentu, secara umum pengalaman Indonesia dengan demokrasi cukup mencengangkan banyak kalangan luar. Inilah “keajaiban Indonesia” yang sulit dipahami banyak orang—tidak hanya kalangan asing,tetapi juga bahkan sebagian warga Indonesia sendiri.


Sebab, bukan rahasia lagi, terdapat kalangan masyarakat Indonesia—meski jumlahnya relatif sangat kecil—yang menolak demokrasi karena bagi mereka, demokrasi yang berangkat dari prinsip vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) bertentangan dengan konsep politik yang mereka yakini bahwa vox dei vox populi (suara Tuhan adalah suara rakyat).Bagi mereka, tidak ada “kedaulatan rakyat”, yang ada hanyalah “kedaulatan Tuhan” (hakimiyyah Allah) yang bisa dipersoalkan lagi.           

Adalah “keajaiban Indonesia” bahwa negara ini diberkahi pemahaman keagamaan “jalan tengah”— khususnya Islam yang merupakan agama yang dipeluk mayoritas mutlak bangsa Indonesia. Pemahaman dan praktik Islam “jalan tengah” (washat) memungkinkan negara ini tanpa kesulitan yang berarti menerima dan menerapkan demokrasi.        

Hal ini sudah berlangsung sejak Indonesia secara resmi mencapai kemerdekaannya meski kemudian pengalaman demokrasi itu berubah-ubah, sejak “Demokrasi Liberal”,“Demokrasi Terpimpin”, “Demokrasi Pancasila”, dan terakhir “Demokrasi Reformasi”sekarang ini. Tidak kurang pentingnya, pemahaman “jalan tengah” itu ditopang mayoritas terbesar umat beragama, yang tergabung ke dalam ormas-ormas yang sering saya sebut sebagai religious-based civil society—masyarakat sipil (kewargaan atau madani) berbasis agama.        

Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta beberapa waktu lalu menemukan, umat beragama yang menjadi anggota atau terlibat dalam kegiatan ormas-ormas ini memandang demokrasi sebagai sistem politik paling tepat bagi Indonesia yang demikian plural dari berbagai segi. Mereka tidak melihat demokrasi sebagai sistem politik yang tidak cocok (incompatible) dengan agama—dalam hal ini Islam. 

Karena itu ke depan, ormasormas yang juga memainkan peran penting sebagai civil society mestilah diberdayakan, bukan hanya untuk memastikan agar demokrasi terus dapat terkonsolidasi dengan baik,tetapi sekaligus juga guna memastikan tetap terpeliharanya paradigma tentang kesesuaian di antara Islam dan demokrasi.Tanpa pemberdayaan yang kontinu, bukan tidak mungkin argumen mereka yang menolak demokrasi mendapatkan kian banyak pendukung.    

Dalam kaitan itu, kepemimpinan nasional sepatutnya menjalin komunikasi politik yang efektif dengan figur-figur masyarakat sipil dengan memberikan akses seluas- luasnya kepada mereka untuk berdialog dan menyampaikan langsung concern mereka. Sulitnya akses kepada kepemimpinan nasional dapat kontraproduktif dalam upaya pengembangan iklim sosial-politik dan bahkan keagamaan yang kondusif bagi kemajuan bangsa dan negara. 

Jika Presiden SBY dalam pidato kenegaraannya menyambut Hari Kemerdekaan pada 14 Agustus lalu menyebut tentang perlunya reformasi gelombang kedua, hal itu mengisyaratkan tentang masih banyaknya agenda reformasi pasca-1998 yang belum selesai. Reformasi gelombang kedua itu dimaksudkan untuk membebaskan Indonesia dari dampak dan ekor krisis yang terjadi 10 tahun lalu.Jika reformasi “jilid II”ini berhasil, pada 2025 Indonesia dapat benar-benar bergerak menuju negara yang maju.            

Pernyataan itu mengisyaratkan semacam optimisme meski tahun 2025 merupakan masa yang agaknya terlalu lama bagi Indonesia untuk bisa menjadi sebuah negara yang benar-benar maju. Memang—sekali lagi—masalahmasalah yang dihadapi Indonesia dewasa ini masih tetap saja sangat berat dan kompleks.Namun langkah- langkah terobosan perlu dilakukan sehingga dapat mencegah terjadinya akumulasi ketidakpuasan yang boleh jadi meledak sewaktu-waktu sehingga bukan tidak mungkin bisa mencabikcabik negara-bangsa ini.         

Dalam konteks itu,konsolidasi demokrasi seyogianya diarahkan menjadi sistem politik yang lebih efektif dan efisien untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Target ini hanya bisa dicapai dengan kebijakan dan program pembangunan afirmatif untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan berbagai bentuk kenestapaan kehidupan lainnya. Jika tidak, bukan tidak mungkin masyarakat kehilangan kepercayaan pada demokrasi yang pada gilirannya mendorong mereka untuk menerima alternatif-alternatif sistem politik lainnya.   
            
Karena itulah ke depan, pengelolaan negara tidak bisa secara business as usual atau cepat berpuas diri dengan pencapaian tertentu—yang secara angka dan statistik kelihatan cukup membesarkan hati. Namun, sebaliknya, mestilah dengan penuh keberanian dan kepercayaan diri untuk melakukan perubahan dan perbaikan sesegera mungkin.(*)                                                                                                                                          



Azyumardi Azra,
 Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta