Showing posts with label essai. Show all posts
Showing posts with label essai. Show all posts

Wednesday, April 10, 2013

Kotak Pandora bernama toleransi


I. Prolog
Keberagaman itu masih berupa teka-teki silang yang membutuhkan jawaban sebelum akhirnya berlanjut pada pertanyaan selanjutnya. Aku masih terpaku pada pertanyaan di kolom mendatar: Apakah arti “Bhinneka Tunggal Ika”? Aku ingin menjawab “persatuan” pada kolom yang kosong itu, namun sayang jumlah kotak yang ada tidak memadai. Aku bertanya dalam hati, apakah pertanyaan ini tidak memiliki jawaban atau lebih tepatnya belum terjawab oleh pembuat teka-teki silang ini?

Memahami keberagaman secara holistik mungkin masih menjadi mata kuliah sulit bagi masyarakat Indonesia. Ibarat mengkaji lukisan Monalisa dengan senyum misteriusnya, kita masih bertanya-tanya apakah penghormatan terhadap keberagaman itu nyata adanya? Sebagai bangsa yang masih balita dalam memahami keberagaman, respon kita terhadap lukisan agung bernama persatuan itu masih destruktif. Ada yang merusak, menodai, atau bahkan membakar karya seni agung itu karena tidak tahu betapa berharganya nilai kebanggaan terhadap keberagaman itu.
Keberagaman itu tetaplah menjadi pertanyaan yang tidak akan pernah bisa dijawab, sampai kita mau membuka kotak Pandora bernama toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

II. Refleksi
Sembilan belas tahun yang lalu, aku terlahir sebagai orang keturunan di Indonesia. Aku tinggal di lingkungan masyarakat Sunda yang sangat kental. Tak heran, sejumlah budaya Sunda melekat kuat dalam diriku, salah satunya adalah Bahasa Sunda.

Aku tumbuh, berkembang, dan mengukir prestasi di Bumi Parahyangan ini. Sekolahku pun terletak dekat dengan lingkungan masyarakat pribumi. Setiap pagi, aku berjalan kaki ke sekolah melewati rumah warga sekitar. “Eta aya si Cina. Cina!” (Itu ada si Cina. Cina!) Kalimat itulah yang ku dengar dengan nada mengejek dan menghina etnisku. Ku percepat langkahku menuju sekolah dengan rasa sesak di dada.

Beranjak dewasa, aku aktif mengikuti berbagai kegiatan, seminar, dan lomba. Tatkala aku menuju meja pendaftaran, beberapa bibir mencibirku. “Haiya, ada orang Cina mau ikutan seminar!” Selentingan yang membuatku merasa terasing di negeriku sendiri. Mungkinkah aku bukan bagian dari Indonesia yang katanya “Bhinneka Tunggal Ika”?

Setiap kali pelajaran PKn pada masa SD, SMP, dan SMA, aku selalu diberikan makna “Bhinneka Tunggal Ika” itu berbeda-beda, tetapi satu juga. Mungkinkah buku paket pelajaranku yang sudah usang ataukah ada revisi terbaru dari penerbit mengingat “Bhinneka Tunggal Ika” itu selama ini belum pernah ku rasakan. 

Konsep kebanggaan terhadap keberagaman itu seolah teori belaka, tanpa ada praktik nyata di lapangan.
Aku selalu mendengar di surat kabar, televisi, bahkan radio sekalipun memberitakan tatkala terjadi kerusuhan besar, warga keturunan sepertiku adalah target utama. Masih segar di ingatan orang tuaku, tatkala mempersiapkan semua kemungkinan terburuk yang terjadi akibat kerusuhan besar di tahun 1998. Meskipun kami berdomisili di Bandung, orang tuaku sadar tatkala kerusuhan itu meluas, bukan mustahil kami akan menjadi target selanjutnya.

Aku bertanya apakah aku anak tiri dari ibu bernama Indonesia? Apakah aku tidak mempunyai kesempatan, kebebasan, dan hak yang sama di tanah air tercinta ini? Aku sempat berpikir warga keturunan sepertiku mungkin ibarat air dan minyak dengan warga pribumi. Sampai kapanpun mungkin takkan bisa bersatu dan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang ku pelajari 12 tahun silam itu mungkin sebuah khayalan belaka.

Aku berharap ini hanyalah mimpi buruk. Tatkala aku terbangun, aku berharap mendapatkan jawaban dari teka-teki yang selama ini belum terisi tentang arti dari “Bhinneka Tunggal Ika”.

III. Solusi dan Aksi
Tatkala bangsa kita masih menganggap mayoritas adalah prioritas, penghormatan terhadap keberagaman itu sendiri takkan pernah terjadi. Masyarakat minoritas tetap tersisih dan mungkin terpaksa hijrah ke negara lain tatkala eksistensi mereka terancam oleh kepentingan kaum mayoritas yang tidak mementingkan kepentingan bersama.

Kebanggaan terhadap keberagaman akan terjadi tatkala kita melihat kembali kebangsaan kita di masa lampau. Menyaksikan Piagam Jakarta diubah menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyiratkan betapa pentingnya pluralisme di Indonesia. Mempelajari zaman penjajahan, di mana semangat kedaerahan membuat bangsa kita mudah diadu domba yang pada akhirnya membuat sekutu dengan mudah masuk dan menjarah kekayaan bangsa Indonesia.

Kemerdekaan yang diperoleh bangsa kita dengan tetesan darah dan keringat ini bukankah diraih oleh kita bersama? Maka dari itu, mengawali kebanggaan terhadap keberagaman haruslah dimulai dari sekarang. Menyaksikan maraknya radikalisme organisasi masyarakat berbasis agama, terorisme, dan tawuran yang membabi buta akibat bangsa yang haus akan kebhinekaan yang sejati.

Sudah saatnya kita membuka kotak Pandora untuk menemukan jawaban teka-teki itu. Tatkala kotak itu terbuka, ternyata hanya ada cermin didalamnya. Ya, jawaban dari pluralisme itu terletak pada diri kita masing-masing. Kita takkan pernah bisa menyelesaikan persoalan ini tatkala kita masih menganggap diri kita berbeda dengan masyarakat Indonesia lainnya. Kita harus mengendurkan ego dan memperkokoh toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mustahil membangun kebanggaan terhadap keberagaman, tatkala perbedaan golongan masih menjadi sekat pembatas bagi bangsa Indonesia. Ketika kita membuka hati untuk berjalan beriringan sebagai rekan seperjuangan, kita akan sadar bahwa kemajuan sebuah bangsa adalah kemajuan bersama. Ibarat kepingan puzzle, kehadiran setiap suku, agama, etnis, dan golongan akan menjadi elemen penting yang saling melengkapi untuk menjadikan gambaran yang utuh tentang Indonesia.

Ibarat menemukan jawaban dari mahakarya seni, kita akan sadar bahwa Indonesia adalah bangsa yang bernilai sangat tinggi di mata dunia. Nilai keberagaman berpadu toleransi yang tergambar jelas pada setiap sendi kehidupan masyarakatnya tidak dapat ditiru dan dibeli dengan uang oleh masyarakat manapun di dunia ini. Ketika kita mengetahui nilai dari Indonesia, maka kita akan sadar untuk menjaganya tetap utuh dan terawat hingga anak cucu kita kelak.

Tidak perlu ada lagi yang merasa dianaktirikan dan tidak ada lagi perpecahan karena kita semua disatupadukan dalam kanvas bernama toleransi yang membuat warna kuas yang kita sapukan di tiap sudutnya tetap melekat. Bukan saling meniadakan satu dengan yang lainnya, melainkan memberikan warna yang beragam dan kontras untuk lukisan indah bernama keberagaman Indonesia.

IV. Epilog
Kini aku sadar bahwa jawaban dari teka-teki itu telah terpecahkan. Ku tuliskan “toleransi” dalam kotak kosong yang tersedia. Semua kotak terisi penuh dengan baik dan aku bisa melanjutkan ke pertanyaan selanjutnya. Ya, aku sadar ternyata teka-teki bernama keberagaman ini takkan pernah terjawab sebelum aku memahami hakikat dari “Bhinneka Tunggal Ika” itu sendiri.

Jawaban “persatuan” yang ku berikan tidaklah salah, hanya saja tidak tepat. Tatkala berbicara tentang keberagaman, maka aku harus mengkaji proses yang ada didalamnya. Dalam hal ini, toleransi adalah proses yang harus kita tempuh sebelum akhirnya menghasilkan persatuan sebagai dampaknya.
Tatkala kita bisa lulus dalam mata kuliah sulit bernama keberagaman ini, yakinlah bahwa keindahan warna Indonesia akan semakin terasa dan kehidupan berbangsa dan bernegara akan semakin indah tanpa adanya jurang pemisah.
****


Naskah Terbaik Ke-10 Kompetisi Esai Mahasiswa “Menjadi Indonesia” 2012
Oleh: Daniel Hermawan, FISIP Universitas Katholik Parahyangan, Bandung

Kritik Frasa ‘Yang Maha Esa’ Sila Pertama Pancasila untuk Menuju Negeri Tanpa Diskriminasi


Pancasila merupakan kerangka di mana negara ini berdiri. Dalam hiearki perundang-undangan pancasila menempati norma teratas atau biasa disebut Grundnorm(Norma dasar) bahkan sebelum pembukaan Undang-undang dasar ataupun batang tubuh Undang-undang dasar itu sendiri. Artinya pancasila adalah suatu nilai yang memang sudah berada dalam masyarakat Indonesia dan menjiwai segala aktifitas orang-orang Indonesia.

Mari sama-sama kita resapi sejenak sila pertama dari fondasi berdirinya negara kita ini:
“Ketuhanan yang maha esa”

Sila ini merupakan sila yang paling pertama dibacakan. Sila ini yang menurut Muhammad Hatta menjiwai empat sila dibawahnya. Sila pertama berupa ketuhanan yang maha esa merupakan fundamen utama sebagai pengunci karakter bangsa kita sebenarnya.

Pada awal perumusan ini, sila “ketuhanan yang maha esa” sebelumnya adalah “ketuhanan yang berkebudayaan”. Artinya nilai-nilai ketuhanan yang dipegang erat oleh seluruh masyarakat Indonesia merupakan nilai yang menjadi dasar moral. Ia tidak bersifat menyerang tetapi saling toleransi. Toleransi dalam hal ini diwujudkan untuk saling menghargai antara tuhan masing-masing yang diyakini benar menurut diri atau kelompok masing-masing.

Sejarah mencatat bahkan sebelum ditulis ketuhanan yang maha esa, terdapat perdebatan panjang yang kita kenal dengan istilah pencantuman tujuh kata setelah kata ketuhanan. Tujuh kata tersebut adalah “dengan menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya”.

Ketika kembali pada ruh sila pertama yakni ketuhanan yang toleransi maka jelas telah menyimpang. Toleransi yang diartikan dengan suatu sikap menghargai suatu aspek yang berbeda malah dimaknai sebagai toleransi golongan non-islam kepada golongan islam. Seakan-akan fondasi negara ini dimaknai sebagai sarana pengikat golongan tertentu saja. Ketuhanan itu hanya milik golongan agamaitu saja. Saya melihat ada indikasi marjinalisasi terhadap penganut agama lain apabila tujuh kata itu diterapkan.

Untungnya tujuh kata ini mendapat protes keras oleh golongan nasionalis karena dianggap dapat mengganggu ketentraman nasional. Sehingga pada akhirnya tujuh kata tersebut dipangkas menjadi tiga kata saja, yang maha esa.

Namun benarkah konsepsi ketuhanan yang ada di seluruh agama di Indonesia adalah yang esa?
Saya mulai dengan konsepsi ketuhanan dalam keyakinan yang dianut oleh orang Indonesia asli. Jauh sebelum munculnya Hindu, Buddha, Islam ataupun Kristen. Nenek moyang kita telah menganut kepercayaan akan adanya zat yang gaib. Kepercayaan ini menyebar hampir di seluruh wilayah di nusantara dalam istilah yang berbeda-beda. J. Esink menyatakan masyarakat Indonesia pada zaman ini melakoni konsepsi dualisme keyakinan tertentu yang dihubungkan dengan alam seperti Bapa Angkasa-Ibu Pertiwi, Kaja-Kelod, Kiri-Kanan. Dua kekuatan yang diyakini ini menyelaras dan menciptakan harmoni semesta. Selain itu ada keyakinan yang mengasosiasikan gunung sebagai simbol penyembahan kepada sang pencipta. Itupun terjadi karena dilatarbelakangi kepercayaan bahwa gunung-gunung menjadi tempat para dewa berada. Konsepsi ketuhanan yang maha esa sebagai satu-satunya pencipta dunia ini dianut oleh agama seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu(Confusianis) dan beberapa agama asli nusantara seperti keyakinan Kacaktyan pada Jawa Kuna. Adanya perbedaan keyakinan ketuhanan ini masih bertahan sampai sekarang. Data dari kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003 mencatat masih ada kepercayaan asli Meskipun kini kepercayaan asli Indonesia hanya dianut oleh minoritas warga Indonesia.

Oleh karena itu saya berpendapat bahwa keberagaman konsepsi tuhan itu tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa konsep ketuhanan seluruh agama di Indonesia adalah ‘yang maha esa’. Konsepsi tersebut hanya berlaku untuk sebagian kepercayaan saja, bukan keseluruhan.

Lagipula sila “ketuhanan yang maha esa” tidak bisa diresapi hanya dengan mengambil sebagian kata seperti hanya meyakini ‘ketuhanan’ atau ‘yang maha esa’ saja. Hal itu dapat mencederai keyakinan pada pancasila itu sendiri ataupun keyakinan terhadap ‘ketuhanan’. Bahkan ada beberapa golongan di Indonesia yang tidak meyakini adanya tuhan. Akan terasa sangat membingungkan untuk meresapi pancasila ke dalam hati jika substansi ketuhanan yang ada hanya dipatok pada keesaannya. Seandainya saja kita menganut konsep tuhan yang tidak esa, bagaimana bisa kita dapat meyakini kebenaran pancasila sebagai falsafah yang benar-benar ada dari, oleh dan untuk bangsa?

Mungkin sebagai seorang yang awam atas suatu falsafah kenegaraan, saya belum memenuhi kompetensi untuk emgkritisi hal ini. Tetapi kritik yang saya utarakan ini memakai pendekatan peresapan dari hati. Melalui pendekatan tersebut saya berkesimpulan kalau ini adalah hal yang salah. Pancasila sebagai norma dasar haruslah mempunyai keselarasan antara arti redaksi dengan makna sebenarnya. Saya kira perbedaan ‘ketuhanan yang maha esa’ dengan ‘ketuhanan yang berkebudayaan’ adalah jelas. Bagi saya ‘ketuhanan yang maha esa’ adalah menjalani kehidupan dengan dasar nilai-nilai ketuhanan yang bersifat esa. Sedangkan ‘ketuhanan yang berkebudayaan’ adalah membudayakan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari. Terbebas dari bagaimana konsep tuhan yang bisa saja diyakini secara berbeda oleh setiap penganut keyakinan tertentu di Indonesia.

Saya berpendapat bahwa perubahan redaksi pada sila pertama adalah perlu. Kalimat ‘Ketuhanan yang berkebudayaan’ adalah kalimat yang relevan untuk dipakai untuk membingkai empat sila pancasila lainnya. Kalimat tersebut relevan dengan fakta bahwa sampai saat ini tidak semua agama di Indonesia menganut konsep ketuhanan yang maha esa. Frasa ‘yang maha esa’ menjadi arti yang sangat sempit karena bisa berpotensi menisbikan kemajemukan agama yang sudah ada di Indonesia. Sedangkan Kalimat ‘ketuhanan yang berkebudayaan’ juga dapat menjadi fasilitas dasar yang sangat dipakai untuk mengembangkan demokrasi karena tidak bergantung pada salah satu sifat ketuhanan, melainkan nilai-nilai. ketuhanan itu sendiri dan pengakuan keberagaman keyakinan yang ada di negeri ini melalui toleransi.

Menuju Negeri Tanpa Diskriminasi
Menurut saya ini adalah akar dari permasalahan mengapa begitu banyak diskriminasi terhadap pemeluk keyakinan yang minoritas di negara ini. Orang-orang boleh bebas memeluk kepercayaan dijamin oleh negara hanya ketika ia memeluk agama mayoritas. Hal ini terbukti dari pengakuan 6 agama saja di Indonesia yakni Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Buddha, Hindu dan Kong Hu Cu.

Pengakuan ini berimbas pada banyak hal, salah satunya adalah data kependudukan. Warga pemeluk agama minoritas selain yang diakui negara dipaksa mencatut agama yang tidak diyakininya jika ingin memperoleh KTP. Inikah semangat ketuhanan yang toleran yang ada dalam sila pertama pancasila?
Merupakan langkah yang sangat tepat apabila perubahan redaksi sila pancasila diberlakukan. Perubahan redaksi ini bukanlah menghilangkan makna dan semangat yang terkandung di dalamnya melainkan hanya sekedar perubahan frasa dari ‘yang maha esa’ menjadi ‘yang berkebudayaan’. Jiwa untuk menghayati konsep ketuhanan yang benar-benar khas Indonesia adalah tidak melulu yang esa tetapi seperti apa yang dikatakan oleh Soekarno, ketuhanan yang berkebudayaan. Perubahan redaksi ini tidak mengakibatkan bubar atau runtuhnya suatu negara karena perubahan tersebut dilandasi oleh penghayatan nilai ketuhanan yang telah ada jauh sebelum republik ini berdiri.

Sebaliknya apabila tidak dilakukan perubahan akan terjadi penyimpangan nilai luhur yang terkandung secara maknawi dalam sila pertama pancasila karena kesalahan penafsiran. Artinya, diskriminasi keyakinan ketuhanan yang ada selama ini seakan selaras dengan pancasila.
Oleh karena itu perubahan ini menurut saya menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan untuk menciptakan Indonesia, negara yang berlandaskan ketuhanan meski berada dalam konsepsi yang berbeda. Perbedaan tersebut bukanlah bersifat serang-menyerang, caci maki atapun ragam diskriminasi. Namun perbedaan tersbut didasari oleh toleransi sehingga akhirnya berujung pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmoni.

Naskah Terbaik Kelima Kompetisi Esai Mahasiswa “Menjadi Indonesia” 2012 
Oleh: Robbi Irfani Maqoma, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Tuesday, April 9, 2013

SASTRA MADURA DAN KEKERASAN

Sastra Madura yang penuh dengan pesan, kesan, kritik dan ajaran-ajaran sempat lenyap dari permukaan , di masa lampau sastra lisan madura sangat diminati oleh masyarakat dari kalangan grass root (rakyat jelata) sampai kalangan elit (kraton), karena dengan sastra tersebut rakyat madura dapat mengeskpresiankan diri, menyampaikan pesan moral,gejolak hati, ajaran agama. Orang Madura yang terkenal keras menghadapi hidup, maju menentang arus, masih sempat untuk mendendangkan sastra –sastra, dengan kondisi geokrafis yang panas, ombak lautan yang garang, maka sastra-satranya penuh dengan motifasi, pesan ajaran yang ketat.

Di antara sastra Madura yang sangat di gemari antara lain, dongeng, lok-olok, syi’ir, tembang, puisi mainan anak-anak.

Dungeng madure adalah cerita atau kisah yang di ambil dari cerita-cerita rakyat madura, yang mengandung beberapa pesan, dan harapan. Dongeng ini sering di dendangkan dalam pengajian, perkumpulan-perkumpulan. Sehingga hal tersebut di anggap primer dalam menumbuhkan kembangkan tradisi-tradisi yang ada dipulau madura. Dan dongeng tersebut merupakan cermin kehidupan pada masa lampau. Sedangkan Syi’ir merupakan untaian kata-kata indah, dengan susunan kalimat-kalimat yang terpadu. Biasanya syi’ir ini di baca di pesantren-pesanten, majlis ta’lim, dan walimatul urs. 

Tembeng tidak jauh berbeda dengan syi’ir, biasanya tembang di baca ketika punya hajat atau akan mengawinkan anaknya, yang di baca oleh dua orang atau lebih sepanjang malam.


Sastra Madura yang akhir-akhir ini, disinyalir semakin melemah karena publik kurang memperhatikan sebagai mana diungkapkan oleh Prof Dr Suripan sadi Hotomo “Sastra Madura (modern) telah mati, sebab sastra ini tak lagi mempunyai majalah BM (Berbahasa Madura-Red). Buku-buku BM pun tak laku jual. Dan, sastra Madura tak lagi mempunyai kader-kader penulis muda, sebab yang muda-muda umumnya menulis dalam bahasa Indonesia” Meskipun demikian dewasa ini sedikit, bahkan dapat dikatakan tidak ada, yang berminat menulis sastra dalam bahasa Madura. Bahkan tokoh-tokoh sastrawan Madura, seperti Abdul Hadi WM, Moh. Fudoli, dan lain-lain lebih suka menulis dalam bahasa Indonesia. 

Sedangkan nama-nama penerjemah sastra Madura yang terkenal seperti SP Sastramihardja, R.Sosrodanoekoesoemo, R. Wongsosewojo kini telah tiada dan belum ada penggantinya. Mungkin hal ini merupakan sebuah proses sastra Madura sedang mengindonesiakan diri. Namun, meskipun demikian sastra Madura tidaklah lenyap dari peredaran tampa menyisakan bekas sedikitpun.

Meskipun ada pendapat modern yang menyatakan bahwa sastra tidak harus menjadi cermin masyarakat, tidak dapat di buat rujukan terhadap fenomena yang berkembang dalam masyarkat tersebut, dan juga sastra bukanlah merupakan gambaran dari kehidupan yang ada pada masyarkat tersebut, namun berbeda dengan sastra Madura yang justru menjadi 

cermin dari kesanggupan menghadapi kehidupan; alam yang keras, panas yang menyengat, lautan yang garang, dan berbatu cadas, disinilah sastra Madura menjadi cermin kehidupan di samping sikap terhadap Tuhan yang menciptakan alam semesta.

Selama ini orang Madura yang terkenal dengan kekerasaanya, baik watak, sikap, kemauan, berpendapat, dan segala bentuk kekerasan ditujukan pada orang Madura. Sehingga image tentang Madura dihadapan publik buruk dan jauh dari sikap santun dan damai. Sastra Madura dalam hal ini sangat memberikan kesan dan peran , bahwa anggapan publik selama ini tentang kekerasan yang sering diidentikkan dengan jahat, marah, amoral, kasar, tidak bersahabat tidaklah benar. Kekerasan berbeda dengan keras, keras memang merupakan watak kebanyakan orang Madura, yang memang kondisi cultural dan geografisnya panas, ombak lautan yang garang, gunung-gunung yang terjal, bebatuan yang kokoh, menjadikan watak orang medura keras. Keras dalam hal ini, dalam kemauan, memegang prinsip, aqidah, dan keras terhadap ajaran-ajaran agama. maka sastra-satranya penuh dengan motifasi, pesan ajaran yang ketat, menentang kema’siatan, keras terhadap musuh-musuh yang mencoba menghancurkan aqidahnya. Sastra Madura (syair) , yang kebanyakan lewat pesatren dapat membuktikan bahwa isi dan kandunganya mengadung ajaran yang ketat.

Sosok Zawawi dengan celurit emasnya, mampu mengubah persepsi di hadapan publik bahwa celurit sebagai alat pembunuh menjadi alat yang bermamfaat bagi kehidupan orang Madura, yang memang menjadi ciri khas orang Madura.

Yang jelas Sastra Madura mampu meluluhkan hati dan gejolak masyarakat Madura, dan menghilangkan kesan terhadap anggapan-anggapan bahwa orang Madura kasar, jahat dan amoral. Sastra yang selalu diindentikan dengan halus, indah maka demikian juga sastra Madura yang penuh dengan mutiara-mutiara kata, rangkain kalimat yang indah dan penuh dengan nuansa regilius.

Potena mata tak bisa ngobe karep

Biruna omba’ abernai kasab
Pangeran mareksane ngolapah ateh
Gelinah betoh, tebeleh bumi tak kobesa
Ngobe ngagelinah Pangeran



Halimi Zuhdi LS, Peneliti sastra, cerpenis dan Mahasiswa Pasca Sarjana PBA UIN Malang, Alumni Fakultas Humaniora Budaya, Jurusan sastra Arab UIN Malang, dan kini Ketua Linguistic and literature Malang

Sumber: Penulislepas.com

Dialog Antartradisi, Ziarah Indonesia

Ada tiga tradisi yang membuat seseorang mengembangkan dirinya dalam kebudayaan. Pertama, tradisi lisan. Ketika tuturan dan wacana serta yang umumnya disebut diskursus menjadi tempat berekspresi, disitulah orang menyusun pengetahuan dan menghayati norma atau nilai dalam etos ataupun estetika. Tradisi adalah ruang budaya dimana ia merupakan rahim tempat belajar hidup, bersikap dan memaknai realitas dari warisan yang diterima dalam pepatah, gurindam, peribahasa dan seni-seni bernafaskan ajaran hidup baik dan hidup bahagia. Tradisi lisan merupakan ruang ekspresi lisan dan wacana sebelum ditulis dalam tradisi tulisan. 

Dengan kata lain, kelisanan merupakan ruang bertutur dari anggota masyarakat yang merawat hidup bermakna sebelum keberaksaraan dituliskan.

Kedua, tradisi tulis adalah tradisi mulai diberaksarakannya dalam simbol alfabetisasi yang dengan abjad menuliskan pengalaman-pengalaman hidup yang ada dalam tradisi lisan untuk dituliskan. Sejarah bahasa tulis merupakan sintesis antara apa yang di sebut oleh Ferdinand de Saussure dalam bahasa formal tertulis yang mengikuti per-syaratan logika keberaksaraan hingga dimengerti sebagai langue misalnya dalam kaidah bahasa Indonesia tulis sebuah kalimat menjadi dimengerti kalau mengikuti aturan logika bahasa tulis S-P-O-K (Subjek–Predikat–Objek–Keterangan).

Tradisi tulisan disebut oleh Wolter J. Ong sebagai keberaksaraan yang disepakati pemakai bahasa untuk menuliskan pengalaman menghayati hidup bukan dalam kelisanan dan bukan sebagai diskursus. Apa yang hilang ketika dari tradisi lisan pengalaman hidup ditulis? Roh, suasana dan konteks tak tertuliskan dan tak terbahasakan secara alfabetikal dalam kelisanan tereduksi oleh hukum logika tulis yang dalam semiotika (sistem tanda) mau dikembalikan menjadi terbaca.

Roh Kelisanan dalam Tulisan

Apa yang hilang dari kelisanan ketika dituliskan? Adalah seluruh suasana tuturan dan getar cakapan-cakapan yang tidak terangkum dalam logika bahasa tulis. Pertanyaan kritis disini adalah pada awalnya lebih dahulu terjadi tradisi lisan dengan episteme (jejak pengetahuan yang merupakan pengetahuan lapangan hidup sehari-hari) ataukah tradisi tulisan yang merupakan tempat studi refleksi atas realitas dalam bahasa tulis? Karena itu, Ferdinand de Saussure melanjutkannya dalam wilayah parole yaitu wilayah bahasa cakap-cakap dan lisan sehari-hari, namun bila mau meneliti secara ilmiah refleksi realitas tidak bisa disini, tetapi harus di wilayah langue (bahasa resmi).

Dari dua tradisi lisan dan tulisan, ketika seseorang lahir didalamnya, maka ia tidak hanya sudah berada dalam rahim salah satu tradisi, misalnya lisan, tetapi sekaligus ia mengemban tradisi yang taken for granted dalam dirinya itu untuk dikembangkan dan menjadi tugas kebudayaan dalam membahasakan dan memaknai kenyataan. Disini agar seseorang melanjutkan tradisinya sebagai tugas kebudayaan ada dua syarat yang harus ia penuhi. Syarat pertama ia harus memahami dan hidup dari tradisinya serta mampu menangkap roh-nya. Syarat kedua ia harus mampu mendialogkannya dengan perkembangan tradisi baru dalam dinamika kebudayaan yang ia jumpai.

Dengan kata lain, roh tradisi lisan, dimana misalnya seni adalah mempermuliakan kehidupan dan merayakannya dalam upacara, ritus festival lalu bertemu dengan formalisasi keharusan penulisan secara logis, rasional, sistematis, disana: roh kelisanan yang memuliakan hidup harus tetap menemukan perayaannya dalam keberaksaraan tradisi tulisan. Sebab, formalisasi tulisan atau teks tertulis itu berciri membakukan, namun mudah membekukan apa-apa yang festival dan makna perayaan tak tertulis dari pengalaman menghayati kehidupan.

Proses Ziarah Indonesia dan Pasca-Indonesia

Bagaimana ikhtiar mengambil roh tradisi lisan? Dengan hidup didalamnya, merayakan dan menyerap melalui para local genius: kearifan-kearifan budaya setempat; dengan mendeskripsi apa yang benar-benar hidup dan sedang dihidupi oleh budaya tradisi lisan serta dari dalam (intrinsik) berusaha membaca makna di balik tanda; renung arti di balik penanda dan nyanyi-nyanyi kebijaksanaan hidup. Di balik dongeng-dongeng lisan, pantun, hikayat kebijaksanaan serta rupa-rupa ajaran harmoni alam, harmoni langit dan harmoni antar sesama. Tradisi kelisanan disini amat muncul dalam religi bumi yang memuliakan kehidupan tanah dan air dimana manusia mendapatkan hidupnya dari bumi, maka ia tidak akan memperkosanya dan menghancurkannya. Sementara itu religi langit lebih menggantungkan pujian syukur atas kehidupan pada yang di LANGIT, sehingga ekspresi hormat pada bumi kadang dikalahkan pada yang vertikal.

Dalam dialog antara tradisi lisan dan tulisan, bila salah satu tradisi belum dipahami oleh yang bersangkutan sebagai rahim budayanya kemudian ia dihadapkan pada tradisi berikutnya, akankah terjadi hibriditas atau wajah indo dalam pembatinan rahim tradisi? Lebih tajam lagi, apabila seseorang belum meminum dari sumur-sumur tradisinya, apakah ia akan meloncat dalam keadaan terpecah ke dalam tradisi mutakhir yang menerpanya: tradisi kelisanan kedua atau secondary orality dalam budaya media tv dan talkshow?
Jawaban pertama, dari mazhab kehidupan harus menegaskan pentingnya akar atau oasis tradisi seseorang untuk identitasnya. Jawaban kedua, dari mazhab bahwa seseorang langsung berziarah sejak ia dilahirkan dalam tradisinya apa pun isinya, tidak usah mencari-cari akar, namun bertitik tolak dari eksistensinya ia berhak terus melanjutkan proses budayanya semisal seseorang yang lahir sekaligus dengan campuran kebatakan, kejawaan dan keindonesiaan di Jakarta, tidak harus ia menyelami tiga tingkatan tradisi bahasa Jawa halus dan tidak harus tahu bahasa Jawa, namun yang penting adalah proses ziarah Indonesia dan pasca-Indonesia. Dengan demikian ruang dialog antar tradisi bisa sekaligus dilakukan bertahap dan serentak antara kelisanan dan tulisan, antara kejawaan dan keindonesiaan, antara tradisi lisan dengan tulisan dan yang paling akhir dengan budaya visual.

PENULIS : Mudji Sutrisno, budayawan

Sumber : KOMPAS

KORUPSI

Sepertinya semua orang pernah berbohong dan sebagian besar orang pernah melakukan korupsi kecil-kecilan. Menggunakan sarana kantor untuk keperluan sendiri, bolos kerja, membeli buku untuk pribadi dengan uang lembaga, itu sebenarnya korupsi juga. Namun, korupsi berkelompok, besar-besaran, sangat terorganisasi, direkayasa dan ditutupi bersama—sesuatu yang beberapa waktu terakhir terus diberitakan media—merupakan sesuatu yang sangat sulit dibayangkan oleh sebagian besar masyarakat awam. Bias persepsi.

Dalam psikologi manusia, ada beberapa proses yang cenderung membuat kita mengambil penyimpulan yang ”bias”. Ini akan sekaligus menghalangi kita untuk memperoleh pengetahuan yang ”sebenar-benarnya” dan lebih lanjut lagi menghalangi kita melakukan langkah yang setepat-tepatnya demi mencegah atau menanggulangi hal buruk.
Sesungguhnya ini adalah proses yang alamiah saja sebagai suatu cara untuk mempermudah manusia memahami dunia dan menciptakan harmoni dengan dunia sosialnya. Namun, bila dibiarkan begitu saja, jelas akan sangat menyulitkan pemberantasan korupsi.
Yang kita kenal dan dekat dengan kita (kecuali tampilan luarnya terlalu negatif atau kita pernah punya pengalaman buruk dengannya) akan cenderung kita nilai lebih positif. Orang yang dari permukaan terlihat baik (misalnya sopan, ganteng atau cantik, perlente, berposisi meyakinkan, bersikap menyenangkan) juga lebih sulit dipercaya melakukan hal buruk daripada orang yang tampilan luarnya terkesan negatif.
Orang yang berkuasa pada akhirnya juga sering dapat mengendalikan wacana. Maksudnya, di awal bisa saja kita mencurigai seseorang atau suatu kelompok melakukan hal buruk tertentu. Namun, yang berkuasa cenderung memiliki akses ke banyak posisi penting, pandai berstrategi, luwes mengambil langkah, tidak selalu melalui uang ataupun ancaman eksplisit untuk dapat memengaruhi dan mengubah wacana publik.
Kadang pendekatan yang sangat simpatik lebih ”powerful” daripada ancaman dan kata-kata kasar. Maka, ketika ada orang dekat atau yang terkesan positif diberitakan melakukan kekerasan seksual atau korupsi, cukup sering kita terkejut dan tidak percaya.
Eufemisme
Eufemisme menunjuk pada penggunaan istilah yang lebih halus untuk menggantikan ungkapan yang dirasa kasar atau dikhawatirkan menyinggung perasaan. Ini sebenarnya juga suatu tindakan yang netral saja atau malahan positif untuk menghindari pelabelan negatif, memelihara harmoni sosial, atau menciptakan pemahaman lebih positif. Psikolog yang melakukan konseling sering menggunakan istilah-istilah yang lebih berkesan positif untuk memberdayakan kliennya.
Misalnya, daripada mengatakan: ”orangtuamu telah melakukan kekerasan padamu sehingga kamu menjadi seorang pemarah dan pendendam”, kita mungkin menggunakan frase: ”orangtuamu telah berlaku kurang baik padamu dan itu menyebabkan luka batin yang dalam”. Tujuannya agar klien merasa dimengerti sekaligus diarahkan untuk bersikap positif dan konstruktif bagi hidupnya sendiri, tidak terpaku pada sikap negatif dan dendam pada orangtua.
Sayangnya dalam masyarakat kita eufemisme digunakan berlebihan sehingga kita sulit melakukan diferensiasi dengan obyektif dan tajam, tidak mampu lagi membedakan mana yang baik atau buruk, atau malahan sengaja terus melanggengkan perilaku tidak etis.
Korupsi kehilangan kesalahan etisnya dalam istilah ”komisi”, ”uang jasa”, ”tanda terima kasih”, ”biaya administrasi”, ”mismanajemen”, dan entah apalagi. Kita tidak mampu bersikap kritis karena semua jadi terkesan ”baik”, ”positif”, atau bila pun kurang baik tidaklah demikian buruk sehingga tidak memerlukan tindakan segera untuk ditangani.
Misalnya, menyebut masyarakat miskin sebagai masyarakat ”prasejahtera” cenderung membutakan para pengambil kebijakan bahwa meski ekonomi makro Indonesia membaik, masyarakat yang riil harus bertahan hidup dalam kemiskinan sungguh sangat memprihatinkan kondisi hidupnya. Jadi, tidak diperlukan program yang sangat tepat untuk menanggulanginya. Apalagi bila indikator kemiskinan ditetapkan sangat rendah, yang menyebabkan orang yang kenyataannya tidak dapat menyekolahkan anak dan sulit makan tiga kali sehari masih belum digolongkan miskin.
Mencegah korupsi
Eufemisme berlebihan menghalangi kita memahami esensi perbedaan baik-buruk dan benar-salah. Kita meminimalkan derajat kesalahan dari tindakan buruk yang dilakukan orang lain maupun diri sendiri. Kita menggunakan istilah dan pemaknaan baru atas tindakan buruk yang ada demi menciptakan harmoni dengan diri sendiri dan lingkungan.
Maka, bisa dimengerti bahwa cukup banyak pelaku korupsi, khususnya di Indonesia, baik yang telah tertangkap maupun tidak, sepertinya tidak merasa malu ataupun disonan tentang dirinya sendiri. Mereka baik-baik saja secara psikologis, hidup bahagia, menjalankan ritual agama masing-masing seperti biasa, terus melakukan korupsi dengan berbagai alasannya, dan di depan publik mengumumkan tanpa beban bahwa dirinya dan organisasinya bersih korupsi.
Pencegahan korupsi perlu dilakukan sangat komprehensif, dari berbagai arah, secara serentak dan konsisten, serta sejak sedini mungkin. Pendidikan antikorupsi yang utuh, selain mengandung telaah berbagai disiplin lain, perlu melibatkan komponen psikologi yang cukup besar. Kejujuran, moralitas, kebaikan, nilai benar-salah, dan tanggung jawab sosial perlu ditelaah dalam konteks berbeda-beda agar anak sedini mungkin paham situasi ideal dan situasi riil yang sering berbeda dengan yang ideal, tetapi tetap mampu memisahkan dengan tajam mana yang pada dasarnya salah maupun benar. Kasus-kasus nyata sehari-hari dari yang sederhana hingga yang kompleks perlu didiskusikan.
Misalnya, mencontek itu, dengan alasan apa pun, tetap merupakan tindakan yang salah. Menolong teman mencuri barang karena sangat butuh uang tetap hal buruk. Sangat berbahaya bila yang mengucapkan slogan antikorupsi malah sangat piawai melakukannya. Pemberantasan korupsi menjadi pekerjaan rumah luar biasa besar bagi kita semua.


Kristi Poerwandari
sumber: http://cetak.kompas.com