Showing posts with label Hukum. Show all posts
Showing posts with label Hukum. Show all posts

Tuesday, May 14, 2013

TERDUGA TERORIS

sumber gambar:cang-et.blogspot.com





Terduga artinya tersangka,terkira atau dapat diduga (sebelumnya) seseorang atau kelompok orang melakan suatu tindakan. Dalam kasus penggerebekan yang dilakukan oleh densus 88 anti teror beberapa hari yang lalu di bandung dan jawa tengah beberapa orang yang terduga teroris di tembak mati dan beberapa lainnya di tangkap.

Terkait dengan tindakan yang dilakukan oleh DENSUS 88 bagi Saya sebagai seorang yang awam hukum menimbulkan beberapa pertanyaan, apakah seorang yang baru Terduga dapat dinyataakn sebagai seorang yang bersalah ? bagaimana cara pembuktiannya bahwa seseorang yang masih baru sebagai terduga teroris dapat dinyatakan bersalah ?

Kita tidak boleh menyatakan bahwa seseorang telah berbuat salah atau melanggar hukum tanpa proses peradilan terlebih dahulu, dan saya kira hal tersebut berlaku untuk semua orang dan kasus. Seseorang baru dinyatakan sebagai orang bersalah setelah ada proses peradilan dan ketetapan hakim yang menyatakan bahwa orang tersebut bersalah atau tidak.

Atas dasar apakah densus  menembak mati teroris yang masih diduga sebagai teroris , apakah mengancam  keselamatan aparat ketika proses penggerebekan atau saat dilakukan penangkapan, atau ketidak mampuan aparat menangkap secara hidup hidup sehingga harus di tembak mati. Jika demikian tidak perlu ada penggerebekan berjam jam  hanya untuk menangkap beberapa orang yang diduga teroris, memakai granat atau bom yang berdaya ledak tinggi sudah terlalu cukup untuk melumpuhkan bahkan membuat sekarat seseorang atau kelompok TERDUGA teroris.

Kita semua bersepakat untuk mencegah  melawan terorisme di negeri ini dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan saya yakin masyarakat masih membutuhkan densus 88 untuk membasmi terorisme dan jaringannnya yang telah berkembang di indonesia.Namun dengan cara menembak mati para terduga terori bukanlah cara yang dibenarkan dalam memberantan teroris .

Tuesday, April 9, 2013

Para Pengungkap Kecurangan UN Itu Kini Berjuang Sendiri

"Saya dimarahi dan dimusuhi teman-teman di sekolah. Kata teman-teman, guru-guru jadi kena masalah gara-gara saya. Padahal, saya cuma bicara jujur. Kata ayah dan bunda, kita harus selalu jujur."

Demikian dikatakan Muhammad Abrary Pulungan (14) seusai pemutaran video dokumenter kolaborasi "Temani Aku Bunda" dan diskusi "UN untuk Apa?", Sabtu (6/4/2013) lalu, di XXI Epicentrum, Jakarta. Video dokumenter berdurasi 77 menit yang dibuat selama lebih dari satu tahun itu berkisah tentang pengalaman Abrar yang pernah melaporkan kecurangan ujian nasional (UN) di sekolahnya, SD Negeri 06 Petang, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, dua tahun lalu atau tepatnya Mei 2011.

Pengalaman buruk dan traumatik bagi Abrar itu berawal ketika dua hari sebelum UN ia dan beberapa temannya disuruh oleh salah satu gurunya membuat kesepakatan saling membantu memberikan jawaban soal saat ujian. Dalam kesepakatan tertulis itu, para siswa dilarang memberi tahu siapa pun, termasuk orangtua.

Pada saat ujian, Abrar gelisah saat teman-temannya bebas bertukar jawaban, padahal ada pengawas yang sedang bertugas. "Kita disuruh merahasiakan dari orangtua atau saudara sampai dewasa," kata Abrar di dalam film dengan produser Yayasan Kampung Halaman dan sutradara Tedika Puri Amanda serta Irma Winda Lubis (ibu dari Abrar) itu.

Setelah ujian dan sesampainya di rumah, Abrar tidak tahan dan mengadu ke ibunya sambil menangis.

Mendengar cerita anaknya, Winda pun berang dan meminta sekolah mengakui dan meminta maaf ke publik. Seluruh proses perjalanan Winda mencari kebenaran dan keadilan bagi Abrar tak kunjung berbuah sampai hari ini. Pemerintah daerah melalui dinas pendidikan telah membentuk tim investigasi, tetapi hasilnya nihil.

Keluarga Abrar pun ke sana kemari mengadu ke berbagai lembaga bantuan hukum dan berbagai organisasi pejuang hak anak untuk meminta perlindungan, tetapi sampai kini tanpa kabar.
Segala macam bukti telah diserahkan, termasuk rekaman suara pengakuan guru Abrar kepada orangtua Abrar. Di dalam film terdengar jelas suara guru Abrar yang mengaku meminta para siswa untuk berlaku tidak jujur. Alasannya, ia hanya ingin membantu siswa dan orang tua agar lulus UN.

"Abrar dibilang gurunya kalau ia hanya terlalu sensitif dan kita harus ikut arus orang lain," kata Winda.
Meski perjuangan terasa tanpa ujung, Winda dan suaminya tidak patah arang. Apalagi karena Abrar pun meminta kedua orangtuanya, terutama ibunya, untuk tidak menyerah dan tetap berjuang. "Saya tidak mau ada siswa bodoh dapat nilai bagus. Kalau pemimpinnya orang bodoh, nanti Indonesia bisa roboh," kata Abrar dalam sesi diskusi.

Diusir warga
Kasus serupa pada tahun yang sama juga dialami Alif (14), siswa yang melaporkan kecurangan UN di sekolahnya, SD Negeri Gadel 2, Tandes, Surabaya. Alif juga diminta guru memberikan jawaban soal UN kepada temannya yang tidak tahu

Kasus ini ramai diperbincangkan hingga keluarga Siami (ibu Alif) diusir warga dari rumahnya karena tidak suka dengan kejujuran Alif. Alif dan keluarganya pun dituding sok jujur oleh guru, orangtua siswa lain, hingga masyarakat sekitar tempat tinggalnya.

"Kami mendidik Alif untuk selalu jujur dan percaya dengan kemampuan sendiri. Tetapi, di sekolah ia malah diajari tidak jujur. Saya dihujat masyarakat dan dianggap sok pahlawan," kata Siami yang datang ke pemutaran film tanpa Alif.

Bagi orangtua siswa lain dan masyarakat setempat, kata Siami, berbagi jawaban soal ujian sudah hal yang lumrah wajar. Guru yang meminta Alif berbagi jawaban itu pun justru dianggap oleh masyarakat hanya berkeinginan membantu siswa agar lulus UN.

Bagi Siami, hal ini tidak bisa dibiarkan dan ia harus bertindak. "Kalau saya diam saja dan tidak berjuang, nanti saya tidak bisa kasih contoh baik ke anak saya," ujarnya.

Sayangnya, seperti halnya Winda, Siami kini juga berjuang sendiri. Setelah satu tahun kasus Alif berlalu, semua dukungan dan bantuan menguap entah ke mana. Padahal, Siami merasa Alif masih membutuhkan bantuan, terutama pendampingan psikologis."Yang penting anak saya punya teladan orang dewasa yang berlaku jujur," ujarnya.

Psikolog anak Silmi Kamilah Risman berharap orangtua selalu menanamkan nilai-nilai kejujuran pada anak sejak dini di rumah karena anak sudah mulai mengikuti contoh-contoh yang ada di masyarakat. Orangtua harus tetap kritis meski harus menentang arus."Suara-suara yang kritis itu seperti suara sumbang dalam tim koor yang kompak," ujarnya.


Sumber :Kompas



Rapor Merah Penegakan Hukum

Sinyal ini mesti diperhatikan pemerintah dan para penegak hukum. Hasil riset Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan 56 persen masyarakat tak puas atas kondisi penegakan hukum di Indonesia. Tingkat ketidakpuasan menunjukkan tren meningkat dalam lima kali survei serupa yang digelar LSI sejak 2010.

Sebagai kunci penegakan hukum, pemerintah perlu menyimak hasil survei itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa berdalih tak mau mencampuri urusan hukum seperti yang sering diucapkannya. Garda depan penegakan hukum-kepolisian dan kejaksaan-jelas berada di bawah kendali Presiden. Selebihnya, penegakan hukum bergantung pada para hakim yang masuk wilayah kekuasaan Mahkamah Agung.

Dari 1.200 responden di 33 provinsi yang disurvei, hanya 29,8 persen yang menyatakan puas atas penegakan hukum. Responden yang tinggal di desa lebih banyak yang tidak puas dibanding responden yang tinggal di kota. Dan, ini poin yang penting, ada 30 persen responden yang setuju atas tindakan menghukum sendiri pelaku kejahatan karena tak percaya proses hukum bakal adil.

Merosotnya wibawa hukum juga tergambar dari hasil survei itu. Sebagian besar responden, 57 persen, merasa bahwa aparat hukum mudah diintervensi oleh berbagai kepentingan luar. Uang dan kedekatan politik bermain di belakang dan di ruang sidang. Pamor hukum juga dinilai anjlok gara-gara dirongrong pejabat dan politikus yang sibuk melakukan korupsi ketimbang mengurus rakyat. Sebagian menteri, bupati, anggota DPR, pemimpin partai, seolah tak berhenti bancakan uang negara.

Fenomena itu tidak bisa dibiarkan. Masyarakat yang berpendidikan rendah, tinggal di pedesaan dengan akses informasi terbatas, merasa betul tumpulnya pedang hukum. Pada saat yang sama, kelompok ini rentan menjadi obyek premanisme dan korupsi. Jerami kering pun tersebar di mana-mana, gampang tersulut api. Tawuran dan konflik meletup dalam berbagai kadar, seperti di Poso, Palopo, serta Makassar.

Lebih parah lagi, negara kerap absen dalam berbagai situasi yang menuntut kinerja aparat keamanan. Dalam perkara premanisme, umpamanya. Kawasan Parkir Timur Senayan, Jakarta, dipenuhi preman. Padahal lokasi Senayan tak jauh dari kantor Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya.

Terakhir, hal yang banyak dibicarakan belakangan ini adalah tragedi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta. Sejumlah anggota Komando Pasukan Khusus TNI menyerbu penjara itu dan menembak mati empat tahanan. Anehnya, tindakan main hakim sendiri ini justru dibenarkan oleh sebagian masyarakat karena keempat korban dianggap sebagai preman. Jelas ini sebuah contoh sesat pikir yang mungkin disebabkan tidak adanya jaminan keamanan bagi rakyat.

Data dan analisis yang lebih komprehensif tentang persoalan ini tentu dibutuhkan. Tapi hasil survei itu setidaknya menunjukkan upaya reformasi hukum selama ini belum membuahkan hasil. Publik masih berpandangan bahwa penegakan hukum belum sesuai dengan keinginan mereka atau belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Rapor buruk ini tidak bisa diabaikan oleh pemerintah dan para penegak hukum.

sumber :TEMPO.CO