Tuesday, April 9, 2013

Rapor Merah Penegakan Hukum

Sinyal ini mesti diperhatikan pemerintah dan para penegak hukum. Hasil riset Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan 56 persen masyarakat tak puas atas kondisi penegakan hukum di Indonesia. Tingkat ketidakpuasan menunjukkan tren meningkat dalam lima kali survei serupa yang digelar LSI sejak 2010.

Sebagai kunci penegakan hukum, pemerintah perlu menyimak hasil survei itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa berdalih tak mau mencampuri urusan hukum seperti yang sering diucapkannya. Garda depan penegakan hukum-kepolisian dan kejaksaan-jelas berada di bawah kendali Presiden. Selebihnya, penegakan hukum bergantung pada para hakim yang masuk wilayah kekuasaan Mahkamah Agung.

Dari 1.200 responden di 33 provinsi yang disurvei, hanya 29,8 persen yang menyatakan puas atas penegakan hukum. Responden yang tinggal di desa lebih banyak yang tidak puas dibanding responden yang tinggal di kota. Dan, ini poin yang penting, ada 30 persen responden yang setuju atas tindakan menghukum sendiri pelaku kejahatan karena tak percaya proses hukum bakal adil.

Merosotnya wibawa hukum juga tergambar dari hasil survei itu. Sebagian besar responden, 57 persen, merasa bahwa aparat hukum mudah diintervensi oleh berbagai kepentingan luar. Uang dan kedekatan politik bermain di belakang dan di ruang sidang. Pamor hukum juga dinilai anjlok gara-gara dirongrong pejabat dan politikus yang sibuk melakukan korupsi ketimbang mengurus rakyat. Sebagian menteri, bupati, anggota DPR, pemimpin partai, seolah tak berhenti bancakan uang negara.

Fenomena itu tidak bisa dibiarkan. Masyarakat yang berpendidikan rendah, tinggal di pedesaan dengan akses informasi terbatas, merasa betul tumpulnya pedang hukum. Pada saat yang sama, kelompok ini rentan menjadi obyek premanisme dan korupsi. Jerami kering pun tersebar di mana-mana, gampang tersulut api. Tawuran dan konflik meletup dalam berbagai kadar, seperti di Poso, Palopo, serta Makassar.

Lebih parah lagi, negara kerap absen dalam berbagai situasi yang menuntut kinerja aparat keamanan. Dalam perkara premanisme, umpamanya. Kawasan Parkir Timur Senayan, Jakarta, dipenuhi preman. Padahal lokasi Senayan tak jauh dari kantor Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya.

Terakhir, hal yang banyak dibicarakan belakangan ini adalah tragedi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta. Sejumlah anggota Komando Pasukan Khusus TNI menyerbu penjara itu dan menembak mati empat tahanan. Anehnya, tindakan main hakim sendiri ini justru dibenarkan oleh sebagian masyarakat karena keempat korban dianggap sebagai preman. Jelas ini sebuah contoh sesat pikir yang mungkin disebabkan tidak adanya jaminan keamanan bagi rakyat.

Data dan analisis yang lebih komprehensif tentang persoalan ini tentu dibutuhkan. Tapi hasil survei itu setidaknya menunjukkan upaya reformasi hukum selama ini belum membuahkan hasil. Publik masih berpandangan bahwa penegakan hukum belum sesuai dengan keinginan mereka atau belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Rapor buruk ini tidak bisa diabaikan oleh pemerintah dan para penegak hukum.

sumber :TEMPO.CO


No comments:

Post a Comment